BICARAA.COM-Yuval Noah Harari, dalam karyanya yang monumental “Sapiens: A Brief History of Humankind,” memandang gosip sebagai suatu fenomena yang terus-menerus melingkupi sejarah panjang Homo sapiens.
Dalam pendekatannya yang tajam terhadap evolusi manusia, Harari mengungkapkan bahwa gosip bukanlah sekadar perbincangan ringan, tetapi memiliki peran yang sangat penting dalam memahami bagaimana manusia modern mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini.
Menurut Harari, gosip bukan hanya sebagai bentuk komunikasi informal, melainkan juga sebagai alat yang memainkan peran krusial dalam struktur sosial manusia.
Dalam kerangka ini, gosip bukan hanya sekadar bentuk hiburan atau percakapan sehari-hari, tetapi merupakan elemen integral dalam perjalanan sejarah manusia.
Harari menekankan bahwa kemampuan Homo sapiens untuk berkomunikasi, termasuk melibatkan diri dalam gosip, memberikan keunggulan evolusioner yang signifikan.
Harari mencatat bahwa gosip memiliki kekuatan untuk membentuk ikatan sosial yang kuat, memungkinkan manusia untuk membentuk komunitas yang solid.
Oleh karena itu, dalam pandangan Harari, gosip bukan hanya sebagai bentuk cerita-cerita tidak jelas, tetapi sebagai alat yang memainkan peran penting dalam pertukaran informasi, pembentukan identitas kelompok, dan bahkan pengaruh terhadap keputusan kolektif.
Beberapa hari lalu, saya berbincang-bincang katakanlah “bergosip” dengan seorang sahabat mengenai Mawar (bukan nama sebenarnya) yang baru saja menikah beberapa bulan yang lalu.
Pertukaran informasi yang saya lakukan tidak hanya sebatas itu, meskipun terkadang saya merasa menyesal dan bersalah karena terlibat dalam percakapan yang bersifat gosip.
Namun, pada kesempatan tertentu, berbincang-bincang tentang kehidupan melalui gosip juga memberikan saya sudut pandang yang sedikit lebih mendalam, seperti kata Yuval di atas.
Saya ingin menggambarkan bahwa dorongan Mawar untuk memasuki kehidupan pernikahan didorong oleh pertimbangan yang bersumber dari aspek ekonomi.
Dalam pemikirannya, pernikahan dianggap sebagai strategi yang dapat memperkuat fondasi ekonominya.
Ini terwujud dalam keinginan untuk mengurangi beban tanggungan finansial serta memperoleh dukungan keuangan yang mungkin dapat diberikan oleh pasangan hidupnya.
Mawar merancang pandangan ini sebagai langkah proaktif untuk menciptakan kestabilan ekonomi dalam kehidupannya.
Dengan mengurangi beban tanggungan dan memiliki dukungan finansial dari pasangan, diharapkan bahwa pernikahan akan menjadi sebuah investasi untuk membentuk keamanan finansial jangka panjang.
Oleh karena itu, kesadaran akan aspek ekonomi menjadi pendorong utama bagi keputusan Mawar untuk menikah, sebagai bagian dari strategi hidup yang holistik dan berkelanjutan.
Dalam lingkungan saya, banyak individu yang membagi pandangan serupa dengan Mawar, terutama ketika membahas konteks pernikahan.
Menariknya, di kalangan orang tua perempuan, terdapat kecenderungan untuk melihat pernikahan anak perempuan bukan hanya sebagai momen kebahagiaan semata, tetapi juga sebagai suatu strategi cerdas untuk “mengurangi beban biaya yang harus mereka tanggung.”
Perspektif ini menggambarkan pemikiran pragmatis di mana pernikahan dianggap sebagai langkah rasional untuk mengelola dan mengurangi tanggungan ekonomi keluarga.
Orang tua perempuan mungkin melihatnya sebagai cara efektif untuk mengoptimalkan sumber daya finansial, dengan keyakinan bahwa menikahkan anak perempuannya akan membantu mengontrol jumlah anak yang perlu dibiayai.
Dengan demikian, di balik kebahagiaan pernikahan, terdapat lapisan pemikiran yang berkaitan dengan manajemen keuangan dan perencanaan keluarga.
Pentingnya esensi pernikahan, menurut pandangan saya, tampaknya semakin pudar. Bagi saya, pernikahan seharusnya menjadi fondasi untuk membangun kebahagiaan bersama dengan pasangan yang memang layak, dengan segala kemungkinan mencakup kestabilan finansial, harapan untuk membentuk keluarga, atau meraih tujuan bersama yang lebih besar.
Sementara saya menghargai pandangan yang diungkapkan oleh Mawar, saya merasa bahwa pemikiran semacam itu mungkin timbul akibat kurangnya pemahaman tentang betapa pentingnya harmoni dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Menurut saya, pernikahan sejati tidak hanya terfokus pada pencapaian target materi atau rencana keluarga, tetapi juga melibatkan dimensi yang lebih mendalam, yaitu keberlanjutan dan kebahagiaan bersama dalam perjalanan hidup yang dijalani bersama pasangan.(*)