BICARAA.COM-Selama waktu yang cukup lama, minat saya dalam mengkaji isu seputar perempuan dan aborsi telah tumbuh. Pengaruh dari beberapa cuplikan film mungkin menjadi salah satu faktor yang memainkan peran penting dalam membentuk pandangan saya terhadap masalah ini.
Dalam berbagai adegan film, tergambar situasi di mana perempuan mengalami kehamilan akibat tindak kekerasan atau gaya hidup bebas, dan kemudian terpaksa melakukan aborsi. Atau bahkan memutuskan untuk menggugurkan kandungan dengan beragam alasan yang melibatkan pertimbangan personal dan lingkungan sekitar.
Proses ini membuka mata saya terhadap kompleksitas serta beragam faktor yang dapat memengaruhi keputusan seputar aborsi, termasuk dampak sosial, ekonomi, dan emosional yang dialami oleh perempuan dalam situasi tersebut.
Menempuh perjalanan sebagai perempuan seringkali diiringi dengan berbagai beban dan ekspektasi, terutama jika dipandang dari sudut pandang masyarakat di Indonesia.
Terdapat paradigma bahwa perempuan yang dianggap baik adalah mereka yang bersifat patuh dan mengemban tugas-tugas konvensional di dapur, sumur, dan kasur.
Pandangan ini menciptakan tekanan besar terhadap perempuan untuk mengikuti norma yang telah ditetapkan oleh masyarakat, menempatkannya dalam peran tradisional yang mungkin tidak selalu mencerminkan potensi dan aspirasi individu.
Seiring waktu, perempuan semakin menyadari kompleksitas identitas mereka dan semakin berusaha untuk melepaskan diri dari stereotip yang membatasi.
Menyikapi hal ini, muncul semangat untuk menggugah kesadaran masyarakat tentang keberagaman peran dan potensi perempuan, serta mengajak untuk meredefinisi makna kesetaraan gender.
Perjalanan ini melibatkan perubahan norma dan nilai-nilai sosial agar menciptakan ruang bagi perempuan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakat, minat, dan ambisi mereka.
Agama dan kebijakan pemerintah dengan cermat memperhatikan segala aspek kehidupan perempuan, bahkan dalam hal-hal yang mungkin terlihat sepele, seperti pilihan busana dan perilaku mereka.
Upaya ini mencerminkan kebijakan yang bersifat holistik, yang mencakup tidak hanya aspek keagamaan tetapi juga kontrol dan pengarahan terhadap norma-norma sosial yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari perempuan.
Ketika perempuan memilih untuk melangkah di luar batas norma yang berlaku, seringkali mereka mendapat stigma negatif, dicap rendah, dan diberi sejumlah julukan merendahkan lainnya.
Situasi ini menciptakan persepsi yang menyiratkan bahwa perempuan seakan kehilangan kekuatan tawar-menawar, membuatnya sulit untuk dihargai atau diakui dalam keputusan dan pilihannya.
Meskipun demikian, kita tidak boleh mengabaikan situasi perempuan yang menjadi korban, karena kenyataannya, perempuan rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, psikologis, hingga seksual.
Menutup mata terhadap realitas ini hanya akan memperburuk kondisi yang dialami oleh perempuan yang rentan menjadi korban. Walaupun diatur dalam KUHP atau UU 1/2023 sebagai peraturan umum dengan jelas melarang tindakan aborsi, dapat dikenakan hukuman berdasarkan Pasal 346 KUHP atau Pasal 463 UU 1/2023.
Terdapat pengecualian dalam Pasal 463 UU 1/2023 yang menyatakan bahwa aborsi tidak berlaku sebagai pelanggaran hukum dalam kasus korban kekerasan seksual atau ketika terdapat indikasi kedaruratan medis.
Meskipun telah diberi pilihan dalam undang-undang untuk melakukan aborsi pada korban pelecehan seksual, pelaku aborsi masih sering kali mendapat pandangan buruk dan dicap sebagai pembunuh janin tanpa dosa oleh masyarakat.
Stigma ini menciptakan lingkungan sosial yang menuntut, menjadikan pelaku aborsi rentan terhadap diskriminasi dan isolasi.
Paralel dengan itu, perlu disoroti bahwa pemerintah sering kali terlihat lepas tangan dalam memberikan perlindungan yang memadai terhadap korban pelecehan seksual.
Keterbatasan kebijakan dan implementasinya dapat meninggalkan korban dengan minimnya dukungan, memperumit pemulihan mereka dari trauma pelecehan yang mereka alami.
Adanya kesenjangan antara norma sosial, penanganan kasus aborsi, dan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual menciptakan tantangan serius dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan aman bagi perempuan.
Saya tentu saja tidak sedang mengadvokasi pandangan pro aborsi, tetapi lebih menuju dukungan terhadap kebebasan bagi korban pelecehan seksual. I
ni adalah upaya untuk mendorong masyarakat agar bersikap mendukung terhadap korban, memberikan ruang bagi mereka untuk membuat pilihan terkait dengan melanjutkan kehamilan atau melakukan aborsi.
Pemahaman dan dukungan ini memperjuangkan hak korban untuk memiliki kendali atas tubuh dan kehidupan mereka, tanpa menghakimi pilihan yang mereka ambil.
Sejalan dengan itu, kita diingatkan untuk mendukung korban dalam perjalanan mereka, entah itu memilih untuk merawat bayi hasil kehamilan atau memutuskan untuk mengakhiri kehamilan sebagai bentuk pemulihan dari trauma yang mereka alami. (*)