BICARAA.COM- Saya dilahirkan dan dibesarkan dalam suatu lingkungan yang sangat kental dengan nilai-nilai patriarki.
Di dalam budaya tersebut, perempuan sering kali merasa tertekan untuk patuh terhadap perintah, terutama dari suami.
Selain itu, perempuan yang menjadi janda sering kali dianggap sebelah mata.
Bahkan penilaian terhadap perempuan seringkali ditentukan oleh penampilan yang dianggap baik menurut standar mereka.
Saya merasa keluarga saya tetap aktif dalam mempertahankan budaya patriarki, meskipun mereka menyadari perlunya perubahan.
Saya sendiri tidak memiliki pengaruh besar, karena mencoba berdebat hanya akan membuat saya terasing, bahkan oleh ibu saya.
Jadi, yang bisa saya lakukan hanyalah memberikan pemahaman perlahan-lahan tanpa mencoba memaksakan pandangan saya.
Banyak perempuan di sini yang menikah harus menanggung beban sebagai kepala keluarga, terutama dalam hal ekonomi.
Mereka berjuang keras untuk mengumpulkan uang, baik sebagai pekerja rumah tangga di dalam negeri maupun sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri.
Tujuannya tidak lain memberikan nafkah kepada keluarga mereka, termasuk suami, anak-anak, bahkan kadang-kadang kepada ibu, ayah, dan adik-adiknya.
Peran Suami
Mengambil alih peran suami dalam mencari rezeki adalah bentuk ketaatan istri terhadap suaminya.
Terutama ketika istri menjadi TKW atas perintah suami.
Namun, sayangnya, seringkali peran istri dalam mengelola urusan anak diabaikan.
Sebagai contoh, keluarga bibi saya, yang telah bertahun-tahun mengabdikan diri sebagai pembantu di luar negeri demi anak-anak dan suaminya.
Namun, ia tidak mendapatkan balasan setimpal, karena suaminya tidak menganggap kehadiran istrinya ikut serta dalam tanggung jawab membesarkan anak mereka.
Padahal Ia adalah ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya, karena segala upaya dilakukannya untuk memberikan nafkah kepada mereka.
Disamping itu, pandangan masyarakat seringkali menganggapnya wajar, mengharapkan istri untuk mengurus pekerjaan rumah tangga secara tradisional.
Seperti memasak, mencuci, mengantar anak sekolah, dan membersihkan rumah.
Ini menciptakan persepsi bahwa peran seorang ibu yang juga mencari nafkah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah.
Meskipun menunjukkan ketidaksetaraan dalam pembagian tugas domestik.
Bibi saya mengalami situasi di mana perannya sebagai istri dan ibu diabaikan tanpa ada rasa bersalah dari pihak suaminya.
Ia merasa terbebani untuk patuh pada budaya patriarki, di mana setiap tindakannya selalu dianggap keliru.
Bahkan menyebabkan keberadaannya tidak dihargai tapi tidak ada yang bisa dilakukannya. (*)