BICARAA.COM-Seorang politikus yang tidak mengenal Multatuli bisa menjadi politikus yang kejam, pertama karena dia tidak kenal sejarah Indonesia, yang kedua karena dia tidak mengenal humanisme modern. -Pramodya Ananta Toer
Seiring berakhirnya pesta demokrasi beberapa waktu yang lalu, suasana meriah masih terasa, walaupun banyak calon yang tidak dikenal oleh masyarakat mengenai asal-usul mereka.
Meskipun begitu, sejumlah warga juga tampak acuh tak acuh, menjadi manifestasi dari kekecewaan terhadap pemerintahan sebelumnya.
Disamping itu saya juga berhasil menyelesaikan membaca karya-karya yang ditulis oleh Multatuli, yang sebenarnya merupakan nama pena dari Edward Douwes Dekker.
Sebelumnya, saya tidak memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai karyanya. Namun, pengetahuan tersebut muncul ketika saya tenggelam dalam sastra, khususnya karya-karya Pramoedya Ananta Toer seperti ‘Tetralogi Buru’.
Melalui karya-karya Pram, saya menemukan banyak peristiwa sejarah yang jarang disorot dalam pembelajaran formal.
Pramoedya Ananta Toer mengungkapkan pandangannya bahwa karya Multatuli memiliki dampak yang signifikan dalam meruntuhkan kolonialisme, dianggapnya sebagai buku yang secara fenomenal menjadi cikal bakal bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sulit dipercaya bahwa kemerdekaan Indonesia, pada akhirnya, berakar dari sebuah karya sastra, tepatnya karya berjudul “Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda” karya Multatuli.
Melalui kelahiran buku ini, muncul konsep politik etis atau politik balas budi dari pihak Kolonial kepada bangsa Hindia (sekarang Indonesia).
Politik etis yang dirancang dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan bangsa pribumi mengusung beragam program, mencakup sektor pertanian, kesehatan, dan pendidikan.
Melalui pendidikan, hasil dari pelaksanaan politik etis itu membawa dampak yang signifikan. Dari program pendidikan inilah muncul suatu realitas menarik, yakni kemunculan generasi murid pribumi berintelektual.
Meskipun mereka dihasilkan oleh sistem kolonial, anak-anak ini menjadi saksi yang sadar akan ketidakadilan dan ketertindasan yang melanda rakyat Indonesia.
Sejalan dengan tujuan politik etis, fokus pada pembangunan pertanian dan sektor kesehatan turut membentuk dasar bagi perubahan sosial di Indonesia pada masa itu.
Namun, dari program pendidikan inilah muncul suatu fenomena yang tidak terduga, di mana generasi pribumi yang teredukasi menjadi agen perubahan yang menggugat ketidakadilan dan mencetuskan semangat perjuangan menuju kemerdekaan.
Dalam konteks karya sastra tersebut, pada awal abad ke-19, Max dipercayakan sebagai Asisten Residen Lebak oleh pemerintah Hindia, menempati posisi yang ditinggalkan oleh seorang Asisten Residen sebelumnya yang telah meninggal dua bulan sebelumnya.
Dalam momen rapat perdana dengan para pejabat Lebak, Max mengekspresikan rasa syukurnya atas penugasan tersebut, mengakui keberadaan kemiskinan yang melimpah di wilayah tersebut sebagai peluang untuk memberikan kontribusi positif lebih banyak.
Dengan semangat yang berkobar, Max mengungkapkan pandangannya dalam pidato tersebut, menekankan pentingnya pelayanan yang tulus dari para pejabat Lebak kepada rakyat.
Dia menyerukan agar para pejabat tersebut tidak hanya melaksanakan tugas administratif, tetapi juga terlibat aktif dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pidato ini mencerminkan tekad Max untuk menciptakan perubahan positif di tengah tantangan kemiskinan yang dihadapi oleh masyarakat Lebak pada waktu itu.
Melalui cara Max memegang sumpah jabatannya, kita dapat menyimpulkan bahwa dia memiliki jiwa humanis yang kuat dan tingkat keadilan yang tinggi.
Tidak hanya itu, pengalaman Max sebelumnya dalam berbagai distrik dan perlawanannya terhadap ketidakadilan di tempat-tempat sebelumnya menunjukkan bahwa dia telah akrab dengan tugas dan tanggung jawab jabatannya.
Hal ini mencerminkan komitmennya untuk melawan ketidakadilan di mana pun dia ditempatkan, menegaskan karakternya yang memiliki sensitivitas terhadap isu kemanusiaan dan keadilan.
Meskipun seringkali kita mendengar cerita tentang perlakuan kejam orang Belanda terhadap bangsa pribumi, sosok Multatuli memberikan perspektif yang lebih nuansawan.
Multatuli menunjukkan bahwa tidak semua orang Belanda bersikap sewenang-wenang, karena dia sendiri memiliki kesadaran yang mendalam terhadap tanggung jawab yang diembannya.
Kesadaran ini termanifestasi dalam penghargaannya terhadap jabatannya yang bertujuan untuk melayani, khususnya melayani rakyat Lebak, dengan bekerja sama dengan para pejabat lokal.
Dengan demikian, Multatuli muncul sebagai contoh bahwa dalam sejarah kolonial, ada individu Belanda yang sadar akan pentingnya pelayanan dan kerjasama yang adil dengan masyarakat setempat.
Kemudian, Apakah Para Politikus di Senayan mengenal Sosok Multatuli?
Ketika saya merenung atas kata-kata yang diungkapkan oleh Pram, muncul pertanyaan di benak saya mengenai sejauh mana para politisi Indonesia memiliki pemahaman mendalam terkait sejarah bangsanya sendiri.
Saya bertanya-tanya apakah mereka memahami akar-akar sejarah Indonesia, termasuk tentang bagaimana Indonesia mencapai kemerdekaannya dan apakah mereka mengetahui mengenai tokoh-tokoh penting seperti Multatuli.
Sebuah pertimbangan yang muncul adalah sejauh mana politisi Indonesia secara kolektif telah menyelami dan menginternalisasi warisan sejarah yang membentuk identitas bangsa mereka.
Tentu, pertanyaan mengenai pengetahuan para politikus Indonesia terhadap sejarah bangsanya, termasuk pesan-pesan yang muncul dari tokoh seperti Pram, merupakan langkah yang layak dan bermakna.
Dengan melontarkan pertanyaan tersebut, mungkin dapat mendorong kesadaran dan refleksi di kalangan politikus, membantu menghindari risiko menjadi politikus yang kejam sebagaimana dikhawatirkan oleh Pram.
Memahami sejarah nasional dapat menjadi dasar penting dalam mengambil keputusan politik yang lebih bijaksana dan berempati terhadap masyarakat.
Dalam peraturan undang-undang tentang pemilihan umum, seperti UU No. 8 Tahun 2012, tidak secara spesifik mencantumkan syarat bahwa seorang calon politisi harus memiliki pengetahuan mendalam tentang sejarah bangsa Indonesia.
Syarat-syarat yang tercantum lebih bersifat umum, seperti usia, ketakwaan, dan tempat tinggal.
Meskipun demikian, pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah bangsa Indonesia bisa menjadi nilai tambah dan wawasan yang penting bagi seorang calon politisi dalam menjalankan tugasnya secara efektif.
Peningkatan kesadaran akan sejarah dapat membantu membentuk perspektif yang lebih matang dalam mengambil keputusan politik.
Meskipun dalam 16 kriteria yang diuraikan tidak terdapat persyaratan khusus yang menyatakan bahwa para politisi harus memiliki pengetahuan tentang sejarah bangsa Indonesia, tetapi kita tidak dapat membuat kesimpulan final bahwa tidak ada satu pun politikus yang mengenal tokoh seperti Multatuli.
Ini karena jelas bahwa tidak semua politikus enggan membaca, dan sebagai rakyat biasa, saya tentu tidak memiliki kapasitas yang lebih hebat daripada politikus yang terhormat.
Pentingnya para politisi mengenal sosok Multatuli!
Pernah suatu kali, saya mengalami pengalaman menarik ketika menaiki Kereta Lokal menuju Rangkasbitung. Saat itu, kebetulan saya duduk di depan seorang petugas dari partai A.
Sumber informasi ini tidak terlepas dari ibu yang duduk di sebelah saya yang tengah berbincang-bincang dengan petugas partai tersebut.
Petugas partai tersebut dengan percaya diri membagikan pengetahuannya mengenai sejarah terbentuknya partai kuning-hitam dan sistem pemerintahan yang berlaku di Lebak.
Saya memutuskan untuk turut serta dalam percakapan tersebut ketika petugas partai itu melirik ke arah saya dan tersenyum. Dengan penuh semangat, dia memaparkan fakta-fakta menarik mengenai sejarah partai dan pemerintahan setempat.
Namun, ketika saya mencoba memperdalam percakapan dengan bertanya, “Apakah Bapak mengenal Multatuli?” suasana menjadi hening cukup lama.
Suasana sepi itu hanya terputus oleh suara deyit rem kereta yang mengisyaratkan bahwa kita akan segera sampai ke tujuan.
Pertanyaan saya pun hangat di udara tanpa mendapatkan jawaban, menciptakan momen yang menarik dan misterius dalam perjalanan kereta tersebut.
Sangat disayangkan bahwa politisi yang saya temui ternyata tidak mengenal Multatuli. Saya tentu berharap bisa berbagi percakapan yang menarik mengenai Multatuli, terutama di tanah perjuangannya, Rangkasbitung.
Seperti yang dikatakan orang bijak, “Memang kita tidak bisa hidup dalam sejarah, tetapi kita harus belajar dari sejarah.”
Maka dari itu, kesempatan untuk berdiskusi mengenai tokoh sejarah dan nilai-nilai yang dapat diambil dari pengalaman masa lalu dapat menjadi momen yang berharga dalam memahami dan membentuk pandangan politik serta kebijakan yang lebih baik di masa depan.
Akar kemerdekaan Indonesia jelas bersumber dari kehadiran Multatuli, dan pemikiran ini menjadi pokok pemikiran yang sangat berharga bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Semua ini berkat semangat humanisme yang dimiliki oleh Multatuli, yang tidak tahan melihat penderitaan rakyat Lebak yang harus menghadapi kesulitan hidup karena diperlakukan sewenang-wenang oleh para pemimpin mereka.
Ini adalah pengajaran yang sangat berharga dan memiliki dampak besar, yang bisa diadopsi oleh para politisi kita. Melalui pemahaman ini, diharapkan dapat tumbuh semangat patriotisme, yaitu tumbuhnya humanisme dalam diri para politisi untuk terus merawat dan melayani masyarakat.
Dengan mengambil contoh dari Multatuli, diharapkan para pemimpin dapat membangun kesadaran akan kebutuhan mendesak untuk menjaga dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sepatutnya setiap individu yang berperan sebagai pemimpin dalam negara ini memiliki pengetahuan yang mendalam tentang aspek-aspek sejarah negaranya. Hal ini menjadi krusial untuk menghindarkan terbentuknya politisi yang kurang mengerti atau bahkan buta sejarah.
Memahami sejarah bukan hanya menjadi tugas rakyat umum sebagai senjata untuk menghindari kesalahan dalam pemilihan pemimpin di masa depan, melainkan juga menjadi landasan esensial bagi para politisi.
Pemahaman mendalam tentang sejarah menjadi pondasi yang penting agar politisi mampu menjalankan tugas mereka dengan bijak, cerdas, dan memiliki kemampuan untuk membangun fondasi yang kuat bagi peradaban yang berkelanjutan di masa depan.
Dengan memperkaya diri melalui pengetahuan sejarah, politisi dapat mengambil keputusan yang lebih baik dan mengarahkan negara menuju masa depan yang lebih cerah. (*)