Meskipun telah diberi pilihan dalam undang-undang untuk melakukan aborsi pada korban pelecehan seksual, pelaku aborsi masih sering kali mendapat pandangan buruk dan dicap sebagai pembunuh janin tanpa dosa oleh masyarakat.
Stigma ini menciptakan lingkungan sosial yang menuntut, menjadikan pelaku aborsi rentan terhadap diskriminasi dan isolasi.
Paralel dengan itu, perlu disoroti bahwa pemerintah sering kali terlihat lepas tangan dalam memberikan perlindungan yang memadai terhadap korban pelecehan seksual.
Keterbatasan kebijakan dan implementasinya dapat meninggalkan korban dengan minimnya dukungan, memperumit pemulihan mereka dari trauma pelecehan yang mereka alami.
Adanya kesenjangan antara norma sosial, penanganan kasus aborsi, dan perlindungan terhadap korban pelecehan seksual menciptakan tantangan serius dalam upaya menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan aman bagi perempuan.
Saya tentu saja tidak sedang mengadvokasi pandangan pro aborsi, tetapi lebih menuju dukungan terhadap kebebasan bagi korban pelecehan seksual. I
ni adalah upaya untuk mendorong masyarakat agar bersikap mendukung terhadap korban, memberikan ruang bagi mereka untuk membuat pilihan terkait dengan melanjutkan kehamilan atau melakukan aborsi.
Pemahaman dan dukungan ini memperjuangkan hak korban untuk memiliki kendali atas tubuh dan kehidupan mereka, tanpa menghakimi pilihan yang mereka ambil.
Sejalan dengan itu, kita diingatkan untuk mendukung korban dalam perjalanan mereka, entah itu memilih untuk merawat bayi hasil kehamilan atau memutuskan untuk mengakhiri kehamilan sebagai bentuk pemulihan dari trauma yang mereka alami. (*)