BICARAA.COM-Pada tahun 2018, saya aktif terlibat dalam berbagai kegiatan bersama anak-anak di kampung halaman.
Dan pada tahun 2024, anak-anak yang kala itu masih belia telah mengalami perubahan signifikan dalam kehidupan mereka.
Beberapa di antaranya telah menikah dan bahkan ada yang sudah menjadi orangtua dengan memiliki anak sendiri.
Namun, mirisnya, pernikahan mereka tampaknya belum mencapai usia 18 atau 19 tahun, meskipun undang-undang UU Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal 19 tahun untuk kedua pasangan.
Tetapi, pernikahan bukan hanya sekadar ikatan formal antara dua individu dewasa, melainkan sebuah perjalanan sakral yang menggambarkan komitmen mendalam dan ikatan emosional yang tumbuh dari dasar cinta.
Dalam perjalanan ini, kedua pasangan membangun bukan hanya rumah fisik, tetapi juga sebuah rumah tangga yang kokoh dan berkelanjutan.
Harus hidup bersama-sama dan menjelajahi kehidupan, menghadapi lika-liku, dan merayakan kebahagiaan bersama.
Pernikahan menjadi medan di mana mereka saling mendukung, tumbuh, dan berkembang sebagai individu, sekaligus menyatukan impian, aspirasi, dan harapan mereka untuk masa depan yang bersama-sama.
Dengan bekerja bahu membahu, mereka tidak hanya membangun fondasi rumah, tetapi juga merajut hubungan yang kokoh dan penuh makna.
Setiap perjuangan dan kebahagiaan menjadi bagian dari kisah panjang mereka, menciptakan ikatan yang tidak hanya mencerminkan cinta, tetapi juga ketangguhan dan kesatuan sebagai pasangan yang telah memilih untuk berbagi hidup mereka bersama dalam kebersamaan dan keintiman.
Salah satu argumen penting mengapa kematangan usia sangat diperlukan sebelum memasuki ikatan pernikahan adalah untuk menjaga dan merawat keberlanjutan hubungan tersebut.
Sehingga, dengan kedewasaan yang dimiliki oleh kedua belah pihak, mereka dapat membawa dinamika pernikahan ke tingkat yang lebih harmonis.
Dengan memiliki kedewasaan tersebut, pasangan dapat lebih efektif berkomunikasi, memahami satu sama lain, dan bersama-sama mengatasi rintangan yang mungkin muncul dalam perjalanan panjang hubungan pernikahan mereka.
Namun, fenomena yang semakin meluas pada zaman ini adalah adanya banyak pernikahan yang dilangsungkan oleh individu yang belum mencapai usia dewasa secara hukum.
Berbagai laporan media menyoroti prevalensi pernikahan di kalangan usia muda, yang terkadang terjadi karena adanya tekanan dari lingkungan sekitar atau bahkan atas inisiatif pribadi tanpa mempertimbangkan kematangan secara menyeluruh.
Permasalahan ini menggarisbawahi kompleksitas serta tantangan yang dihadapi oleh masyarakat terkait dengan pernikahan di bawah umur, baik yang dilakukan secara terpaksa maupun atas keinginan sendiri.
Ada berbagai faktor yang menunjukkan pentingnya usia kedewasaan dalam membina rumah tangga, salah satunya adalah kesehatan perempuan.
Ketika seorang perempuan memasuki fase kehamilan pada usia yang belum mapan, kesehatannya dapat terancam. Perempuan yang masih di bawah umur cenderung menghadapi risiko kesehatan yang lebih tinggi selama kehamilan dan persalinan.
Kematangan tubuh dan kesiapan fisik perempuan untuk menghadapi beban kehamilan dapat memengaruhi kesehatan ibu dan bayi yang dikandung.
Oleh karena itu, membina rumah tangga pada usia yang matang juga berkontribusi pada kesejahteraan kesehatan perempuan, memastikan bahwa proses kehamilan dan kelahiran dapat berlangsung dengan lebih baik dan lebih aman.
Anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual, terutama yang masih di bawah umur, seringkali terperangkap dalam situasi yang sangat sulit di mana mereka tidak hanya menghadapi perlakuan yang tidak adil, tetapi juga dipaksa untuk menikahi pelaku kekerasan tersebut.
Bahkan, tragisnya, mereka mungkin menghadapi konsekuensi lebih lanjut seperti mengandung anak dari pelaku kekerasan.
Dalam konteks ini, tidak hanya terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia anak, tetapi juga meruncing pada ketidakadilan sosial yang mendalam.
Anak-anak ini, yang seharusnya dilindungi dan diberi perlindungan penuh oleh masyarakat, malah harus menanggung beban emosional dan fisik yang berat. Mereka terpaksa menjalani kehidupan sebagai pelayan bagi orang yang telah menyakiti mereka secara traumatis.
Situasi ini menciptakan lingkungan yang tidak hanya merusak secara fisik, tetapi juga menghancurkan kestabilan emosional anak-anak tersebut.
Perlakuan kejam ini tidak hanya menciptakan luka-luka fisik, tetapi juga meninggalkan bekas yang mendalam dalam perkembangan psikologis mereka.
Oleh karena itu, mendesak pentingnya upaya kolektif untuk melindungi hak-hak anak dan mencegah terjadinya kekerasan seksual, serta memberikan dukungan komprehensif bagi mereka yang telah menjadi korban.
Orang tua memiliki peran krusial dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual. Mereka perlu membuka saluran komunikasi yang terbuka dengan anak-anak, memberikan edukasi seksual yang sehat, dan mendukung pemahaman tentang batasan-batasan yang aman.
Lingkungan sekitar juga harus berperan aktif dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kekerasan seksual, serta melibatkan diri dalam upaya pencegahan dan pendeteksian dini.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyusun dan menegakkan kebijakan perlindungan anak yang efektif. Ini melibatkan pendekatan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual, penyediaan sumber daya dan dukungan bagi korban, serta pendidikan seksual yang inklusif di sekolah.
Selain itu, peran pemerintah dalam mendukung organisasi dan layanan yang fokus pada rehabilitasi dan dukungan psikologis bagi korban sangat penting.
Secara bersama-sama, orang tua, lingkungan, dan pemerintah perlu bekerja sama untuk menciptakan budaya yang mengutamakan keamanan anak-anak.
Ini melibatkan advokasi aktif terhadap perlindungan hak anak, pengembangan program-program edukasi yang menyeluruh, serta penguatan sistem penegakan hukum untuk mengatasi kekerasan seksual.
Dengan kolaborasi yang kuat, dapat dibangun masyarakat yang aman dan mendukung perkembangan sehat bagi anak-anak. (*)