Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
BICARAA.COM– Pilkada 2024 telah selesai dan sudah diketahui hasilnya. Hal ini sekaligus mengakhiri tahun 2024 sebagai tahun politik, karena pada Februari 2024 telah dilakukan pemilu legislatif (DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR RI, dan DPD RI) dan pemilihan presiden.
Bagi partai politik, juga bagi politisi yang ikut dalam pemilu legislatif maupun pilpres serta yang mendapat tugas sebagai ketua partai maupun penanggung jawab pemenangan (DPC/DPD/DPW/DPP maupun korwil dan tim pemenangan) berakhirnya semua proses politik tersebut merupakan ajang evaluasi tersendiri.
Dalam laporan ini, Nasihin Masha membuat laporan tentang kiprah seorang Rachmat Gobel. Dia adalah anggota DPR RI dari Partai Nasdem yang juga bertanggung jawab terhadap pemenangan di Provinsi Gorontalo, yang kemudian di saat terakhir ditunjuk menjadi ketua DPW Partai Nasdem Gorontalo. Berikut ini adalah laporan serialnya tentang Rachmat Gobel sebagai politisi.
Pemilu 2024, Ajang Pembuktian
Oleh Nasihin Masha, Wartawan Senior
Tujuan praktis berpolitik adalah untuk memenangkan kontestasi dalam pemilu. Tentu tujuan sejatinya hanya orang yang bersangkutan yang mengetahuinya. Bisa untuk kekayaan, bisa untuk kekuasaan, bisa untuk hal-hal yang sifatnya idealistik.
Namun rekam jejaknya yang akan dirasakan masyarakat. Dan hal itu akan tecermin pada pemilu berikutnya: dipilih lagi atau terpental.
Dengan catatan, selalu saja ada manipulasi dan hal-hal teknis lainnya seperti rekayasa opini, rekayasa jejaring, dan yang paling barbar adalah berbagai bentuk kecurangan seperti money politics maupun penggunaan alat-alat kekuasaan.
Apapun, pemilu adalah ajang pembuktian sejati bagi para politisi. Menghadapi Pemilu 2024, Rachmat Gobel tak melakukan persiapan khusus. Ia tak membentuk tim sukses dan tak ada penggalangan media maupun buzzer.
Ia hanya bekerja seperti biasa, plus menyusun jadwal kampanye saja. Apa yang ia lakukan dan apa yang ia pidatokan sama dengan hari-hari saat ia kunjungan kerja (kunker) dan saat ia melakukan reses sebagai anggota DPR RI.
Paling banter hanya ada tambahan penggunaan hak pilih dan mengkampanyekan partai. Ia tetap dengan politik bermoralnya dan politik pembangunannya.
Saat reses maupun saat kunker, selain menyampaikan program, ia selalu menyampaikan bahaya money politics. Pertama, manusia sudah dimuliakan Tuhan, sehingga jangan merendahkan harkat dan martabat manusia. Tuhan telah memuliakan semua makhluknya.
Bagi orang Islam, saat lahir diazankan di telinga kanan dan diqomatkan di telinga kiri. Begitu juga saat meninggal sebelum dikubur. Bagi orang Katolik juga ada proses inisiasi pembaptisan dengan dimandikan. Kedua, nilai money politics kecil sekali.
Katakan Rp 500 ribu, sehingga dibagi dalam lima tahun maka per tahun Rp 100 ribu. Kemudian dibagi 365 hari, maka nilainya tak cukup untuk membeli satu liter beras. Jika dibandingkan dengan harga kambing, maka harga manusia tak seberapa dibandingkan dengan harga kambing.
Ketiga, dilarang undang-undang dan dilarang agama. Keempat, money politics berarti telah memperjualbelikan dan menggadaikan hak politik rakyat. Padahal hak politik rakyat sudah dijamin undang-undang. Hal ini terus ia pidatokan di manapun sebagai bentuk edukasi politik rakyat.
Namun sebagai politisi, ia juga menguatkan struktur partai. Dengan kemampuan uangnya biasanya politisi lebih memilih menguatkan jejaring pribadinya melalui relawan, namun Gobel lebih memilih menguatkan struktur partai.
Dengan demikian ia tidak membangun kultus individu, tapi membangun kelembagaan partai. Ia membangun struktur partai hingga tingkat DPRt. Ia juga membagikan alat peraga partai hingga tingkat DPRt. Ia memberikan seragam kepada pengurus partai dengan kualitas yang bagus.
Namun menjelang pemilu, Ketua DPW Partai Nasdem Gorontalo mundur dari jabatan bupati dan memilih menjadi caleg di Sulawesi Utara. Karena itu ia meminta kepada DPP Partai Nasdem agar ketua DPW Partai Nasdem dirangkap dirinya.
Maka Gobel menjadi lebih sibuk dengan mengkonsolidasi partai. Sekretariat partai pun segera dipindah karena ada sedikit gangguan. Ia membangun kantor partai secara modern dengan tampilan yang popular.
Hasilnya Menakjubkan
Pepatah “usaha tak mengkhianati hasil” benar-benar terbukti di Nasdem Gorontalo. Untuk pertama kalinya, untuk pemilu DPR RI Golkar tumbang di Gorontalo. Partai Nasdem meraih 227.533 suara (2019; 169.509 suara), sedangkan Golkar meraih 163.074 suara (2019; 194.660 suara), disusul Gerindra dengan 145.152 suara (2019; 87.748 suara).
Walaupun dari sisi kursi hasilnya sama dibandingkan dengan pemilu 2019, namun dari segi jumlah suara terjadi pergeseran. Untuk kali pertama Nasdem menjadi jawara.
Untuk perorangan, perolehan suara Rachmat Gobel tetap tertinggi seperti pada pemilu 2019. Kali ini Gobel meraih 195.322 suara (2019; 146.067 suara). Disusul Elnino Mohi yang meraih 126.129 (2019; 67.515 suara).
Terjadi lonjakan pada perolehan suara Elnino. Pada 2019 ia duduk di peringkat ketiga. Urutan ketiga ditempati Rusli Habibie, mantan gubernur dan ketua DPD I Golkar Gorontalo, yang meraih 95.379 suara. Angka Rusli ini bahkan lebih rendah dibandingkan suara Ida Syahidah, istrinya, pada pemilu 2019, yang meraih 98.759 suara.
Perolehan suara perorangan Rachmat Gobel ini, di level nasional, secara proporsional (angka relatif) dibandingkan dengan jumlah pemilihnya, adalah yang terbesar di Indonesia. Memang jika dibandingkan dengan segi angka mutlaknya, perolehan suara Rachmat Gobel lebih rendah.
Ini karena jumlah pemilihnya yang lebih kecil. Gorontalo termasuk di antara provinsi yang jumlah penduduknya sedikit. Sebagai contoh, peraih suara terbanyak perorangan adalah Said Abdullah dari PDIP dari Dapil Jawa Timut XI.
Said memperoleh 528.815 suara, sedangkan jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) nya adalah 3.129.230 orang. Berarti proporsinya adalah 16,89 persen.
Suara terbesar berikutnya adalah Dedi Mulyadi (355.710 suara) dari Dapil Jawa Barat VII dan Edhie Baskoro Yudhoyo/Ibas (318.223 suara) dari Dapil Jawa Timur VII.
Namun proporsi suaranya di bawah Said, Dedi 7,54 persen dan Ibas 10,40 persen. Sedangkan proporsi perolehan suara Rachmat Gobel terhadap DPT adalah 22,16 persen. Ini berarti lebih tinggi daripada proporsi perolehan suara Said yang 16,89 persen.
Kursi di DPRD Provinsi naik dari 6 menjadi 7 kursi dan berhak mendapat kursi wakil ketua DPRD. Untuk DPRD kabupaten/kota, untuk pertama kali Kabupaten Pohuwato dan Kota Gorontalo mendapatkan kursi, dan langsung meraih 3 kursi (Kabupaten Pohuwato) dan 4 kursi (Kota Gorontalo).
Masing-masing berhak untuk mendapat kursi wakil ketua DPRD. Kabupaten Boalemo naik dari 2 kursi menjadi 4 kursi, Kabupaten Gorontalo naik dari 4 kursi menjadi 6 kursi, Kabupaten Gorontalo Utara naik dari 5 kursi menjadi 7 kursi, dan Kabupaten Bone Bolango tetap 6 kursi.
Dari enam kabupaten/kota tersebut, Nasdem berhak mendapat kursi wakil ketua DPRD di 3 kabupaten dan 1 kota, serta berhak mendapat kursi ketua DPRD di Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten Gorontalo Utara.
Jadi untuk tingkat kabupaten/kota Nasdem duduk di kursi pimpinan DPRD di semua kabupaten/kota, dengan dua di antaranya Nasdem menjadi pemenangnya.
Untuk membuat lebih jelas dalam melihat prestasi Partai Nasdem Provinsi Gorontalo ini bisa dengan cara membandingkan perolehan kursi dan suara DPW Provinsi Partai Nasdem dengan DPW Partai Nasdem provinsi lain yang relatif setara secara DPT.
Di antara yang setara adalah Bangka Belitung (1.067.434 jiwa), Bengkulu (1.494.828 jiwa), Kalimantan Utara (504.252 jiwa), Gorontalo (881.206 jiwa), Sulawesi Barat (985.760 jiwa), Maluku Utara (953.978 jiwa), dan Maluku (1.341.012 jiwa).
Untuk kursi DPR RI, yang memperoleh kursi hanya Bengkulu, Gorontalo, dan Sulawesi Barat. Sedangkan untuk DPRD Provinsi semua memperoleh kursi, kecuali Maluku, yang tertinggi adalah Gorontalo (7 kursi) dan Bangka Belitung (6 kursi).
Secara proporsional (relatif), perolehan kursi Gorontalo untuk DPRD provinsi, juga bisa dibandingkan dengan provinsi-provinsi gemuk. Yaitu dengan membandingkan perolehan jumlah kursi dengan kuota kursinya.
Misalnya DPRD Provinsi Gorontalo memiliki kuota 45 kursi, sedangkan Nasdem Gorontalo meraih 7 kursi. Ini berarti proporsinya 15,55 persen. Hal ini bisa dibandingkan dengan Jawa Tengah (kuota 120 kursi), Jawa Barat (kuota 120 kursi), Jawa Timur (kuota 120 kursi), Sulawesi Selatan (kuota 85 kursi), dan Sumatera Selatan (kuota 75 kursi).
Masing-masing DPW tersebut, yaitu Jawa Tengah meraih 3 kursi (proporsi 2,5 persen), Jawa Barat 8 kursi (proporsi 6,6 persen), Jawa Timur 10 kursi (proporsi 8,3 persen), Sulawesi Selatan 17 kursi (proporsi 20 persen), dan Sumatera Selatan 10 kursi (proporsi 13,3 persen).
Dari angka-angka ini terlihat bahwa prestasi Gorontalo hanya di bawah Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota, proporsi kursi yang diperoleh Gorontalo lebih baik sedikit dibandingkan proporsi kursi yang diperoleh Sulawesi Selatan, yaitu Gorontalo 17,64 persen, dan Sulawesi Selatan 17,21 persen, yaitu masing-masing meraih 30 kursi dari kuota 170 kursi dan 142 kursi dari kuota 825 kursi. Adapun DPW lain proporsinya lebih kecil lagi.
Politik memang bukan matematika, namun mengukur kinerja partai harus berdasarkan key performance indicator yang jelas. Dengan demikian kompetisi, evaluasi, dan proyeksi terhadap masa depannya menjadi lebih sehat dan lebih baik. Sekali lagi uang bukan segalanya untuk meraih prestasi.
(*)