Penulis: Nasihin Masha/Wartawan Senior
BICARAA.COM– Dalam dunia politik, banyak orang berjuang demi kekuasaan, uang, dan pengaruh.
Namun, ada pula yang berpolitik dengan hati, seperti yang dilakukan Rachmat Gobel.
Ayahnya, Thayeb M. Gobel, adalah seorang pengusaha dan politisi yang aktif dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan merupakan salah satu pendiri Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Meskipun ayahnya adalah politisi yang dikenal di partai oposisi, ia selalu menjalin hubungan baik dengan pemerintah.
Keakraban dengan dunia politik membuat Rachmat Gobel terbiasa mendengarkan rapat-rapat politik dan mengenal dunia partai sejak dini.
Namun, meski banyak partai yang menginginkan kehadirannya, Rachmat belum tertarik untuk bergabung dengan satu pun dari mereka.
Baginya, politik adalah tentang prinsip dan perjuangan untuk kepentingan bangsa, bukan soal kekuasaan.
Hal ini terbukti saat ia dipercaya oleh Presiden Joko Widodo untuk menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada kabinet pertama setelah Pemilu 2014.
Meskipun dirinya tidak berasal dari partai politik tertentu, Rachmat dipercaya untuk duduk di kabinet berkat rekomendasi Surya Paloh, ketua umum Partai Nasdem, sebagai seorang profesional.
Prestasi sebagai Menteri Perdagangan
Sebagai Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel banyak melakukan terobosan yang bertujuan untuk memperbaiki sektor perdagangan Indonesia.
Salah satu pencapaian terbesar yang dicatatnya adalah berhasil menjaga kestabilan harga barang, khususnya selama bulan Ramadan, Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
Ia juga fokus pada perlindungan industri dalam negeri, seperti melarang impor kain bermotif batik, tenun, dan sulam, serta baju bekas yang berpotensi merusak industri garmen rumahan.
Langkah ini menunjukkan komitmennya untuk mendukung usaha kecil dan menengah serta meningkatkan lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Rachmat juga meyakini bahwa untuk mencapai kemajuan sebuah bangsa, ketahanan pangan adalah salah satu kunci utamanya.
Sebagai Menteri Perdagangan, ia bekerja sama dengan Menteri Pertanian untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor beras.
Meskipun banyak tekanan dari mafia beras yang berkepentingan, Rachmat berhasil mengurangi impor beras dan memastikan ketersediaan pasokan beras domestik tetap terjaga.
Namun, langkah ini juga dihadapkan pada isu beras plastik yang sempat menghebohkan publik.
Setelah melakukan pemeriksaan langsung ke lapangan, Rachmat mendapati bahwa isu tersebut adalah hasil rekayasa mafia beras.
Namun, tantangan terbesar datang saat ia berusaha menata perdagangan miras yang beredar di minimart.
Minuman keras yang dijual bebas di minimart menjadi perhatian publik, terutama karena sering dijadikan tempat nongkrong bagi anak-anak muda.
Rachmat menegaskan penjualan miras di minimart berpotensi merusak generasi muda Indonesia, yang harus dilindungi dari kecanduan alkohol.
Meskipun mendapat perlawanan dari mafia miras, yang berusaha melobi pihak Presiden, ia tetap menjalankan kebijakan tegas yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dan generasi muda.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Rachmat juga terlibat dalam perdebatan sengit mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Ketika Indonesia dihadapkan pada pilihan antara China dan Jepang untuk membangun proyek ini, Rachmat lebih memilih untuk mendukung Jepang, yang sudah lebih dari 10 tahun menginisiasi proyek tersebut.
Ia menilai China tidak dapat memenuhi janji-janji yang disampaikan, seperti transfer teknologi dan biaya yang lebih murah.
Proyek kereta cepat yang akhirnya dimenangkan China terbukti membebani APBN dan tidak memenuhi janji yang telah disepakati.
Pada akhirnya, meskipun banyak terobosan yang ia buat, idealisme Rachmat Gobel harus berbenturan dengan realitas politik.
Pada 2015, menjelang peringatan 17 Agustus, ia dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Perdagangan.
Hanya sekitar sepuluh bulan ia menjabat, tetapi pengaruh dan dedikasinya terhadap kemajuan Indonesia sangat terasa.
Rachmat Gobel harus membayar harga mahal untuk idealismenya, tetapi bagi dirinya, berpolitik dengan hati adalah segalanya, meski tidak selalu sejalan dengan kepentingan politik lainnya. (*)