KontrolPohuwato

PETI Rusak Air Sawah, Petani Duhiadaa Menjerit Gagal Panen

×

PETI Rusak Air Sawah, Petani Duhiadaa Menjerit Gagal Panen

Sebarkan artikel ini
Herman (47), Petani Asal Kecamatan Duhiadaa, Pohuwato Yang Mengeluhkan KarenaTambang Ilegal Membuat Sawahnya Rusak dan Gagal Panen, Foto: (Irfandi Jumaati/bicaraa.com)

Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini


POHUWATO, BICARAA.COM – Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di hulu kembali menyisakan derita bagi masyarakat Desa Duhiadaa, Kecamatan Duhiadaa, Kabupaten Pohuwato.

Air yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini berubah menjadi lumpur, mengakibatkan sawah-sawah kering dan petani menjerit karena gagal panen berulang kali.

Herman (48) , salah satu petani di Desa Duhiadaa, mengaku sudah tidak sanggup lagi menanggung kerugian.

Ia menuturkan, air yang biasanya jernih dan bisa mengairi sawah kini sudah tercemar akibat limbah pertambangan.

Kondisi ini membuat tanaman tidak tumbuh dengan baik dan hasil panen jauh dari harapan.

“Kalau air bersih di sini sudah tidak ada, sudah kotor semua dari bagian atas Taluduyunu. Tanaman tidak bisa tumbuh bagus, hasil panen jatuh terus,” keluh Herman kepada bicaraa.com, Senin (15/9/2025).

Kerugian itu, kata Herman, semakin diperparah dengan minimnya modal.

Biaya pengolahan tanah, pembelian pupuk, hingga obat-obatan pertanian sudah tidak terjangkau.

Akibatnya, sebagian besar petani memilih berhenti menanam karena takut kembali gagal panen.

“Kalau dulu hasilnya masih banyak. Tapi sekarang sudah banyak yang tidak mau menanam, karena dua kali panen gagal. Modal juga sudah habis,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Desa Duhiadaa, Nawir Makuta, membenarkan kondisi warganya.

Ia menyebut para petani kini benar-benar terjepit karena tidak hanya gagal panen, tetapi juga terbelit hutang.

Bahkan pengusaha gilingan padi yang biasanya membantu permodalan, sudah tidak mau lagi memberikan pinjaman karena banyak hutang lama belum terbayar.

“Kasihan petani, modalnya sudah habis karena berkali-kali gagal panen. Untuk sekarang saja mereka kesulitan membiayai pengolahan tanah sampai beli pupuk. Pengusaha gilingan juga tidak mau lagi memberikan modal, karena petani masih banyak hutang,” jelas Nawir.

Lebih jauh, Nawir menyoroti dampak lingkungan akibat PETI.

Ia menegaskan, air yang kini berubah seperti lumpur bukan hanya merugikan petani, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat.

“Air ini kan tidak layak lagi dipakai untuk pengairan persawahan. Sudah penuh lumpur, sama sekali tidak bisa dipakai. Ini yang jadi keluhan terbesar petani sekarang,” katanya.

Kondisi ini membuat masyarakat bersama pemerintah desa mendesak adanya langkah nyata dari pemerintah daerah.

Mereka menilai, aktivitas PETI sudah terlalu merugikan dan harus segera ditangani agar tidak semakin memperburuk krisis pertanian.

“Harapan petani itu sederhana, supaya ada solusi. Bagaimana caranya air bisa kembali bersih dan bisa dipakai mengairi sawah. Karena kalau begini terus, petani bisa berhenti menanam semua,” tegas Nawir.

Kini, sawah-sawah di Duhiadaa sebagian besar terbengkalai. Warga yang menggantungkan hidup dari hasil tani semakin terpuruk, sementara kerusakan lingkungan akibat PETI terus meluas.

“Jika pemerintah tidak segera turun tangan, krisis pangan dikhawatirkan akan menghantam Kabupaten Pohuwato dalam waktu dekat,” tutupnya. (*)

Share:   

Baca Berita Kami Lainnya di: 
Image