Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
POHUWATO, BICARAA.COM – Derita petani di Desa Duhiadaa, Kecamatan Duhiadaa, Kabupaten Pohuwato, kian berat.
Bukan hanya gagal panen berulang kali, mereka juga kini terbelit hutang yang menumpuk hingga membuat sebagian besar sawah terbengkalai.
Kondisi ini semakin diperparah dengan rusaknya sumber air akibat aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI).
Herman (48), salah satu petani di Duhiadaa, mengaku kondisi tersebut membuatnya hampir putus asa.
Sawah yang biasanya bisa dipanen dua kali setahun kini tidak lagi bisa ditanami karena air irigasi telah dipenuhi lumpur.
“Sudah berapa kali saya coba pinjam modal, tapi tidak ada lagi yang mau kasih. Hutang lama saya saja belum bisa saya bayar. Pupuk pun tidak sanggup beli, apalagi untuk ongkos olah tanah,” ujar Herman dengan wajah murung.
Ia menuturkan, hutang yang menjeratnya kini menumpuk hingga puluhan juta rupiah.
Uang pinjaman itu sebelumnya dipakai membeli bibit dan pupuk, namun hasil panen tak pernah datang karena sawahnya gagal tanam berulang kali.
“Kalau begini terus, saya takut anak-anak saya tidak bisa lagi sekolah. Makan sehari-hari saja sudah susah. Sawah yang harusnya jadi harapan keluarga, sekarang cuma tinggal beban,” katanya lirih.
Herman pun berharap agar pemerintah benar-benar turun tangan membantu petani, bukan hanya sekadar janji.
“Kalau ada sedikit saja bantuan, mungkin kami masih bisa bertahan. Tapi kalau tidak ada, jalan satu-satunya ya terpaksa meninggalkan sawah dan cari kerja lain. Itu yang paling saya takutkan,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Desa Duhiadaa, Nawir Makuta, membenarkan kondisi warganya.
Ia menyebut petani benar-benar berada dalam situasi terjepit karena modal habis dan utang menumpuk.
“Kasihan petani, modalnya sudah tidak ada lagi. Untuk membiayai pengolahan tanah dan membeli pupuk pun mereka kesulitan. Pengusaha gilingan juga tidak mau lagi memberikan pinjaman karena hutang lama belum terbayar,” jelas Nawir kepada bicaraa.com, Rabu (17/9/2025).
Ia menambahkan, masalah yang dihadapi petani tidak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan akibat PETI.
Air yang berubah keruh dan berlumpur bukan hanya merugikan pertanian, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat.
“Air ini sama sekali tidak bisa dipakai untuk sawah. Sudah penuh lumpur, mustahil petani bisa menanam dengan kondisi seperti ini,” tegasnya.
Menurut Nawir, situasi ini bukan hanya soal gagal panen, melainkan sudah menyangkut keberlangsungan ekonomi masyarakat desa.
Jika lahan sawah tidak bisa difungsikan, maka pendapatan utama warga akan hilang, sementara beban hutang semakin bertambah.
“Kalau petani berhenti menanam, maka mereka tidak punya penghasilan sama sekali. Sementara cicilan hutang terus menunggu. Ini bisa memicu masalah sosial baru di masyarakat,” ungkap Nawir.
Ia menegaskan, harapan petani sebenarnya sederhana. Mereka hanya ingin ada solusi nyata dari pemerintah agar air kembali bersih dan sawah bisa kembali ditanami.
“Kalau begini terus, petani bisa berhenti menanam semua, dan itu akan berbahaya bagi ketahanan pangan Pohuwato,” tutupnya. (*)