Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
Ditulis Oleh: DIREKTUR PT. ERMITEK DIGITAL INDONESIA (BICARAA.COM)
BICARAA.COM– Di tengah derasnya arus politik elitis dan perebutan kekuasaan yang sering melupakan suara rakyat kecil, gagasan politik kerakyatan kembali penting untuk dibicarakan.
Politik kerakyatan adalah pendekatan politik yang berpijak pada kebutuhan, kepentingan, dan partisipasi aktif rakyat, terutama kelas bawah, dalam proses pengambilan keputusan.
Ia bukan slogan, tapi soal keterlibatan rakyat dalam setiap aspek kehidupan berbangsa—ekonomi, sosial, budaya, dan tata kelola daerah.
Kerangka sosial politik kerakyatan menempatkan rakyat sebagai subjek, bukan objek.
Artinya, masyarakat bukan sekadar penerima kebijakan, tapi juga penentu arah pembangunan.
Sayangnya, dalam praktik politik hari ini, rakyat kecil justru sering dijadikan komoditas.
Padahal sejarah sudah mencatat, ketika rakyat dilibatkan secara aktif dalam politik, dampaknya bisa sangat besar.
Salah satu contoh paling konkret adalah gerakan koperasi dan desa mandiri di era Bung Hatta.
Dalam bukunya Demokrasi Kita (1960), Hatta menekankan pentingnya demokrasi ekonomi berbasis kerakyatan melalui koperasi.
Bagi Hatta, koperasi bukan sekadar bentuk usaha, tapi manifestasi dari semangat gotong royong dan pemerataan ekonomi.
Contoh lain yang lebih kontemporer adalah keberhasilan Partai Buruh di Brasil di bawah kepemimpinan Lula da Silva pada awal 2000-an.
Kebijakan-kebijakan seperti Bolsa Família—program bantuan tunai bersyarat—telah menurunkan angka kemiskinan secara drastis dan mengangkat jutaan warga miskin menjadi kelas menengah.
Kunci keberhasilannya: menyentuh kebutuhan nyata rakyat kecil dan melibatkan mereka dalam program sosial.
Dalam konteks Indonesia hari ini, politik kerakyatan juga menjadi solusi atas krisis kepercayaan publik terhadap elit politik.
Banyak politisi lebih sibuk memperkaya diri daripada memperjuangkan nasib konstituennya.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) secara rutin menunjukkan banyak kepala daerah maupun anggota legislatif tersandung kasus korupsi.
Ini menjadi bukti bahwa tanpa pengawasan rakyat, politik mudah diselewengkan.
Karena itu, penting mendorong politisi yang benar-benar memiliki rekam jejak membela rakyat.
Politisi seharusnya menjadi pelayan, bukan tuan atas rakyat.
Dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia (2010), Satjipto Rahardjo mengingatkan, hukum dan kebijakan publik hanya bermakna jika berpihak pada yang lemah.
Jika tidak, negara hanya menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung rakyat.
Secara sosial, politik kerakyatan erat kaitannya dengan keadilan distributif.
Dalam buku Keadilan Sosial: Konsep dan Implementasi (1999), Ignas Kleden menjelaskan, keadilan bukan hanya soal perlakuan setara, tapi soal mengoreksi ketimpangan yang sudah terjadi.
Politik kerakyatan harus berani menyasar akar ketimpangan: akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan tanah.
Pemerintah juga harus lebih membuka ruang partisipasi rakyat, tidak hanya dalam bentuk forum musyawarah desa, tetapi juga melalui kebijakan keterbukaan informasi, konsultasi publik yang bermakna, serta perlindungan terhadap kelompok-kelompok rentan.
Inilah yang disebut John Rawls dalam A Theory of Justice (1971) sebagai prinsip “difference”, yaitu keadilan sosial harus menguntungkan kelompok yang paling tidak beruntung.
Politik kerakyatan bukan utopia. Ia bisa dan sudah pernah berhasil. Tapi ia membutuhkan keberanian, integritas, dan komitmen jangka panjang.
Bukan hanya dari politisi, tapi juga dari rakyat itu sendiri. Rakyat harus berani bersuara, mengorganisir diri, dan mengawal kebijakan publik.
Karena tanpa rakyat yang sadar, politik akan terus jadi alat segelintir orang untuk menguasai banyak.
Dalam konteks demokrasi hari ini, mari kita rawat politik kerakyatan sebagai bentuk perlawanan terhadap politik transaksional dan kekuasaan yang meminggirkan rakyat.
Mari kita bangun ruang politik yang lebih setara, lebih jujur, dan lebih berpihak.
Karena republik ini tidak dibangun oleh elit saja, tapi oleh kerja keras dan doa rakyat kecil yang selama ini jarang terdengar suaranya. (*)