Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
POHUWATO, BICARAA.COM — Aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) diduga menjadi penyebab utama meningkatnya kasus malaria di Kabupaten Pohuwato.
Hingga awal Oktober 2025, tercatat 702 kasus dengan empat penambahan baru dalam sepekan terakhir, menandakan wabah masih berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB).
Sejak 2023, total kasus kumulatif malaria di Pohuwato telah mencapai 2.340 orang, dua di antaranya meninggal dunia.
Saat ini 23 pasien masih menjalani rawat jalan dan dua dirawat inap, sementara sekitar 160 ribu penduduk terdampak langsung maupun tidak langsung oleh penyebaran penyakit ini.
Kecamatan Buntulia dan Marisa menjadi wilayah dengan kasus tertinggi, masing-masing 457 kasus, disusul Taluditi (283), Duhiadaa (239), dan Paguat (238).
Penyakit ini bahkan telah menjalar hingga ke kawasan pertambangan rakyat dan pemukiman padat penduduk.
Kepala Seksi Surveilans dan Imunisasi Dinas Kesehatan Pohuwato, Yeli Ibrahim, menjelaskan pihaknya terus berupaya menekan penyebaran malaria melalui program Outbreak Response Immunization (ORI).
“Setiap hari selalu ada kasus baru. Kami sudah turun di tiga kecamatan: Marisa, Buntulia, dan Duhiadaa. Setelah sosialisasi, alhamdulillah masyarakat mulai mau ikut imunisasi,” ujar Yeli kepada bicaraa.com, Rabu (9/10/2025).
Namun, Yeli mengakui penularan malaria sulit dikendalikan karena faktor lingkungan akibat PETI yang tidak tertangani.
Lubang-lubang bekas galian tambang dibiarkan tergenang air, menciptakan habitat ideal bagi nyamuk Anopheles untuk berkembang biak.
“Kalau penyebabnya dilihat di lapangan, memang jelas dari aktivitas tambang. Banyak genangan di bekas galian emas yang belum direklamasi. Itu menjadi tempat nyamuk bertelur dan mempercepat penularan di sekitar permukiman warga,” jelasnya.
Data tiga tahun terakhir menunjukkan tren yang tidak menurun. Tahun 2023 tercatat 814 kasus, meningkat menjadi 824 kasus pada 2024, dan kini 702 kasus di 2025 yang belum berakhir.
Kondisi ini memperlihatkan lemahnya pengendalian dini di lapangan dan minimnya kesadaran lingkungan di sekitar wilayah tambang.
Pemerintah daerah pun didesak untuk memperketat pengawasan aktivitas PETI serta mempercepat reklamasi lahan bekas tambang guna memutus rantai penularan malaria di Pohuwato. (*)