Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
POHUWATO, BICARAA.COM — Aktivitas tambang emas ilegal (PETI) di Kabupaten Pohuwato terus meluas dan menimbulkan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Tambang ilegal dinilai tidak memberikan pendapatan kepada negara dan tidak memiliki pengelolaan limbah, sementara masyarakat hanya menerima dampak buruknya.
“Kami melihat negara seakan kalah. Kekayaan alam dikeruk segelintir orang, tapi rakyat hanya menanggung kerusakannya,” ujar Irman Nahari (45), warga Pohuwato, Sabtu (26/10/2025).
Ia menilai Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat, di Pohuwato justru jauh dari kenyataan.
Herman (48), petani di Desa Duhiadaa, Kecamatan Duhiadaa mengaku tak sanggup lagi menanggung kerugian akibat tercemarnya air irigasi.
“Air sudah kotor. Tanaman tidak bisa tumbuh bagus, hasil panen jatuh terus,” keluhnya.
Ia menuturkan, banyak petani terpaksa berhenti menanam karena dua kali gagal panen dan modal habis.
Sementara itu, Kepala Desa Duhiadaa, Nawir Makuta, membenarkan kondisi warganya yang semakin terjepit.
Petani bukan hanya gagal panen, tetapi kini menanggung beban utang.
Pengusaha gilingan padi pun enggan lagi memberikan modal karena hutang lama belum terbayar.
“Petani sekarang bukan hanya gagal panen, tapi juga terhimpit utang. Air irigasi sudah berubah menjadi lumpur,” keluhnya.
Akibatnya, air yang berubah menjadi lumpur dinilai mengancam keberlangsungan hidup masyarakat desa.
Perubahan bentang alam akibat tambang ilegal juga memicu banjir dan tanah longsor ketika intensitas hujan meningkat.
Di tengah situasi itu, Irman menyoroti munculnya rekomendasi DPRD untuk penghentian tambang legal berizin.
Sementara tambang ilegal tetap beroperasi dan jumlah alat berat terus bertambah.
“Kalau tambang yang bayar pajak saja diganggu, sementara yang ilegal bebas, siapa yang sebenarnya diwakili DPRD?” kata Irman.
Ia menilai langkah tersebut terindikasi hanya menguntungkan pihak-pihak yang selama ini diduga membekingi tambang ilegal.
“Seharusnya rekomendasi DPRD Pohuwato bukan menutup tambang legal yang memiliki izin negara. Yang mesti ditutup itu tambang ilegal. Kalau seperti ini, masyarakat bisa curiga ada kepentingan individu yang ikut bermain,” tegasnya.
Irman juga mengungkapkan adanya isu keluarga oknum dewan yang masih belum menerima tali asih sehingga diduga mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan.
Seharusnya DPRD memiliki kewenangan tegas seperti penggunaan hak angket untuk menyelidiki jaringan PETI dan mendorong penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Ia menegaskan, masyarakat membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya rapat dan pernyataan politik.
Dirinya berharap penertiban dilakukan menyeluruh, termasuk penyitaan alat berat ilegal, rehabilitasi lahan rusak, serta pemulihan ekonomi bagi petani.
“Waktu kita tidak banyak. Kerusakan ini berlangsung setiap hari. Kalau dibiarkan, yang hilang bukan hanya kekayaan alam tetapi kehidupan rakyat,” tutup Irman. (*)












