Gorontalo

Nyanyi di Kafe Gorontalo, Ditagih Bayar Royalti Seperti Artis Ibu Kota

×

Nyanyi di Kafe Gorontalo, Ditagih Bayar Royalti Seperti Artis Ibu Kota

Sebarkan artikel ini
Pengelola Salah Satu Cafe di Gorontalo Niko Makarawo (56) Saat di Wawancarai Tentang Aturan Royalti Lagu, Foto: (Kolase/bicaraa.com)

Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini


BICARAA.COM, GORONTALO – Polemik mengenai kewajiban membayar royalti musik kembali menjadi perhatian dari sejumlah pelaku usaha kuliner di Gorontalo.

Para pemilik kafe dan restoran merasa terbebani oleh aturan yang mewajibkan pembayaran royalti, meskipun hanya memutar musik atau menyewa penyanyi lokal untuk hiburan live.

Salah satu suara datang dari pengelola Kafe Hungrypedia, Niko Makarawo (56), yang menyampaikan keberatannya terhadap kewajiban royalti tersebut.

Niko, yang merupakan adik dari pemilik Hungrypedia dan turut membantu mengelola operasional harian, mengatakan bahwa pihaknya hanya mengadakan live music dua kali dalam seminggu, yakni malam Kamis dan malam Minggu.

“Di Hungrypedia live musik biasanya di malam Kamis dan malam Minggu, karena di hari itu biasanya orang-orang ramai,” ujar Niko kepada bicaraa.com, Jumat (8/8/2025).

Menurutnya, musik live di kafe tersebut hanya menampilkan penyanyi lokal, yang tidak terikat kontrak tetap dan tidak membawakan lagu ciptaan sendiri.

Ia menilai kewajiban royalti tidak relevan jika pelaku usaha hanya menyewa musisi lokal yang membawakan lagu-lagu cover.

“Royalti itu kan bukan urusan saya, kecuali saya punya band sendiri. Sama juga seperti karaoke, itu wajar bayar royalti,” tegas Niko.

Honor Kecil, Tekanan Bertambah

Niko juga mengungkap bahwa para musisi yang tampil di kafenya menerima bayaran yang cukup terbatas.

Untuk satu kali tampil, mereka dibayar antara Rp500 ribu hingga Rp750 ribu per grup, yang kemudian dibagi rata antar personel.

Dengan formasi empat hingga lima orang, masing-masing musisi hanya menerima sekitar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per malam.

“Bahkan ada dari mereka itu masih mahasiswa, kadang datang menawarkan sendiri apakah bisa tampil untuk menghibur. Selain karena hobi, mereka juga butuh biaya untuk kebutuhan sehari-hari,” lanjutnya.

Ia menganggap kebijakan royalti musik justru akan menyulitkan para musisi lokal dan menghambat ruang ekspresi seni.

Di Gorontalo, katanya, belum banyak musisi yang memiliki karya ciptaan sendiri, sehingga hampir seluruhnya hanya membawakan lagu cover.

“Kalau mereka masih dibatasi begitu, pasti mereka tidak mampu untuk membayar royalti itu,” tambah Niko.

Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan hiburan, kehadiran live music menurut Niko juga menjadi daya tarik utama bagi pelanggan.

Di tengah persaingan ketat di dunia kuliner, hiburan menjadi salah satu nilai tambah yang menentukan tingkat kunjungan.

“Kita sebagai pengusaha kafe atau restoran, kalau tidak ada hiburan atau live musik, susah juga. Jadi kita hanya sewa live musik untuk hiburan. Saya melihat Gorontalo ini haus hiburan,” ujarnya.

Dirinya berharap ada pembaruan aturan yang mempertimbangkan kondisi di lapangan, termasuk keterlibatan musisi lokal yang masih dalam tahap berkembang.

“Selama ini kami berusaha memberikan ruang bagi mereka untuk tampil dan menghibur. Tapi kalau semuanya harus bayar ini-itu, justru bisa bikin semuanya berhenti,” tutup Niko.

Tanggapan Pembeli: Hiburan Lokal Harus Didukung

Salah satu pelanggan tetap Hungrypedia, Rio Kadir (27), turut memberikan tanggapan terkait polemik ini.

Sebagai pemilik sebuah kafe kecil di Gorontalo dan pengunjung rutin kafe-kafe dengan live music, Rio mengaku live music menjadi salah satu alasan ia memilih tempat nongkrong.

“Menurut saya, live music itu bikin suasana lebih hidup. Apalagi kalau yang tampil itu anak-anak muda lokal yang punya potensi. Justru mereka harusnya difasilitasi, bukan malah dibebani dengan urusan royalti yang rumit,” ujar Rio.

Ia menyebut, selama musisi hanya membawakan lagu-lagu populer secara terbuka dan tidak untuk tujuan komersial besar seperti produksi rekaman atau distribusi digital, kewajiban royalti semestinya tidak dibebankan ke kafe kecil atau musisi lokal.

“Yang perlu dikejar royalti itu label besar atau event skala nasional. Kalau cuma live music kecil-kecilan, mestinya ada kebijakan khusus,” tambahnya.

Rio juga berharap pemerintah atau lembaga manajemen kolektif bisa membedakan antara bisnis skala besar dan usaha mikro seperti kafe-kafe lokal, agar regulasi tidak justru menghambat pertumbuhan ekonomi kreatif. (*)

Share:   

Baca Berita Kami Lainnya di: 
Image
Image
Image