Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
JAKARTA, BICARAA.COM – Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo melakukan kunjungan kerja ke Kantor Pusat PT PLN (Persero) di Jakarta, Kamis (10/07/2025).
Kunjungan ini dilakukan untuk mengonsultasikan berbagai persoalan ketenagalistrikan di Gorontalo, terutama soal pencabutan subsidi tarif listrik yang berdampak besar pada kelompok masyarakat rentan di wilayah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
Rombongan Komisi II DPRD diterima langsung oleh jajaran eksekutif PLN pusat, di antaranya EVP PPN Ririn Rachmawardini, EVP PPR Daniel Lestanto, EVP CES Bramantyo Anggun Pambudi, serta VP Perencanaan dan Evaluasi Tarif M. Nurul Hadi.
Dari PLN wilayah Sulawesi Utara, Tengah, dan Gorontalo (Suluttenggo) turut hadir Manajer Pengamanan Pendapatan Moh Rizaldi Eka Catur dan Asman Niaga PLN Gorontalo, Roman Kanta. Pertemuan berlangsung di ruang rapat D lantai 5, Kantor Pusat PLN, Jakarta Selatan.
Komisi II menyampaikan sejumlah persoalan yang belum terselesaikan, mulai dari belum tuntasnya jaringan listrik di wilayah Pinogu, belum meratanya distribusi gardu listrik di daerah-daerah terpencil seperti Torsiaje, hingga tiang listrik yang tak kunjung terpasang di beberapa desa.
Isu ketidakstabilan tegangan listrik dan perlunya percepatan transisi energi hijau juga menjadi perhatian serius dalam pertemuan ini.
Ketua Komisi II DPRD Provinsi Gorontalo, Mikson Yapanto, menegaskan bahwa listrik bukan sekadar fasilitas teknis, melainkan kebutuhan pokok yang menentukan kualitas hidup masyarakat, terutama di wilayah pelosok.
Menurutnya, banyak masyarakat yang mengalami kerugian karena ketidakstabilan listrik yang terjadi.
“Kami di daerah banyak menerima keluhan, terutama dari pelaku UMKM dan petani. Tegangan listrik yang tidak stabil merusak mesin, mengganggu produksi, dan membuat biaya usaha makin tinggi. Pemerintah pusat dan PLN harus hadir dengan solusi, bukan justru mencabut subsidi,” tegas Mikson.
Mikson kemudian menjelaskan situasi ekonomi di daerah kian berat, terutama setelah adanya pemangkasan anggaran yang signifikan.
Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, masyarakat seharusnya mendapat perlindungan melalui kebijakan afirmatif, bukan justru ditinggalkan.
“Apalagi di masa sulit, ketika anggaran sudah dipangkas 50 persen dan daya beli masyarakat terus menurun, PLN seharusnya memberikan perlindungan, bukan menambah beban,” lanjutnya.
Ia pun menekankan pentingnya kebijakan khusus untuk daerah 3T seperti Gorontalo agar tidak disamaratakan dengan daerah maju. PLN, menurut Mikson, harus memposisikan diri sebagai bagian dari solusi pembangunan berkeadilan.
“Kami minta agar ada kebijakan khusus untuk wilayah 3T seperti Gorontalo—tertinggal, terluar, dan terdepan. Jangan samakan dengan daerah maju. PLN harus hadir sebagai solusi pemerataan pembangunan, bukan hanya sebagai perusahaan bisnis murni,” pungkas Mikson. (*)