Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
GORONTALO, BICARAA.COM — Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) menapaki usia ke-26 tahun pada Juli 2025.
Organisasi ini bukan sekadar forum aktivisme mahasiswa, melainkan tonggak penting dalam gerakan sosial-politik yang konsisten membela hak-hak rakyat kecil.
Dengan ideologi demokrasi rakyat, LMID menjelma sebagai kekuatan progresif di tengah ketimpangan sistemik yang masih terjadi di Indonesia.
Lahir dari Perlawanan, Tumbuh di Medan Juang
LMID didirikan dalam pertemuan pemuda dari berbagai komite aksi mahasiswa pada 9–11 Juli 1999 di Bogor dengan nama awal Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND).
Organisasi ini muncul sebagai respons atas runtuhnya rezim Orde Baru dan kebutuhan mendesak akan organisasi mahasiswa yang terorganisir secara ideologis.
Perubahan nama menjadi LMND-DN terjadi pada Kongres IX tahun 2019 di Gorontalo.
Lalu, di Kongres X tahun 2022 di Bogor, organisasi ini mengukuhkan identitas barunya sebagai LMID, sebagai refleksi semangat baru dalam memperluas gerakan di basis rakyat tertindas.
LMID menyatakan diri sebagai organisasi kader yang bertujuan menciptakan pemuda-pemudi revolusioner untuk memperjuangkan demokrasi sejati.
Jejak Perlawanan di Gorontalo: Luka, Trauma, dan Tekad
Di Gorontalo, LMID dikenal sebagai organisasi mahasiswa paling progresif yang kerap hadir di garda terdepan membela petani, buruh, dan rakyat miskin kota.
Sejumlah nama penting pernah memimpin LMND Gorontalo: Harmina (2014–2016), Alyan Abdari (2016–2017), Abdul Rahman Halid (2017–2019), Hidayat Musa (2019–2022), Hadrian Abdjul LMID (2022–2024), dan kini Khalifah Ridho Harun Arasyid (2025–2027).
Masa kepemimpinan Abdul Rahman Halid diwarnai oleh dua peristiwa penting: sengketa tanah di Desa Pilohayanga 2017 di Kecamatan Talaga, dan Desa Bionga 2018, Kabupaten Gorontalo.
Di tahun itu, Abdul Rahman Halid bersama petani Desa Pilohayanga menolak pembebasan tanah untuk proyek Jalan GORR.
Konflik ini dipicu oleh ganti rugi lahan yang tidak sesuai oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo saat itu. LMND membentuk organisasi massa rakyat dan mendapat dukungan penuh dari warga setempat.
Puncaknya terjadi saat pemerintah melakukan penggusuran. LMND bersama warga menolak dan menghadang alat berat yang hendak masuk ke lahan pertanian warga.

Aksi tersebut dibalas represif oleh aparat. Seorang kader ditembak peluru karet, beberapa lainnya ditangkap dan dipukul.
Peristiwa ini menyulut solidaritas mahasiswa lintas kampus di Gorontalo yang turun ke jalan menuntut keadilan.
Tekanan terhadap LMND semakin kuat, namun mereka tak mundur. Gerakan ini dikenang sebagai bentuk keberanian dan konsistensi mahasiswa dalam membela hak petani.
Tahun 2018, peristiwa serupa terjadi di Desa Bionga. Sengketa tanah antara warga dan negara berujung konflik terbuka.
LMND turut membela warga, melakukan pengorganisiran, dan berhari-hari berdiskusi secara ilmiah membahas persoalan hukum dan agraria.
Aksi massa kembali dibalas tindakan represif. Beberapa kader mengalami penangkapan paksa dan kekerasan fisik.

Bahkan, ada yang menderita trauma psikologis hingga hari ini. LMND turun membela rakyat kecil hanya berbekal tekad, semangat, dan nurani. Mereka berdiri teguh di tengah tekanan dan intimidasi.
Gerakan ini dikenang sebagai tonggak solidaritas mahasiswa Gorontalo—seluruh organisasi dan elemen kampus bersatu menolak intimidasi dan membela hak rakyat.
Tidak hanya itu, dua peristiwa ini membentuk kesadaran kolektif bahwa perjuangan mahasiswa tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi juga bersama rakyat di akar rumput.
LMND menjadi simbol konsistensi dan keberanian dalam membela kepentingan masyarakat yang termarjinalkan.
Perlawanan Terhadap Omnibus Law: Dikejar, Diintimidasi, Tapi Tidak Mundur
Era Hidayat Musa pun mencatat perlawanan terhadap UU Cipta Kerja dan Omnibus Law.
LMID memimpin ribuan barisan massa aksi di Gorontalo yang menolak kebijakan pemerintah pusat yang dianggap mencederai hak-hak buruh dan rakyat kecil.
Ribuan mahasiswa turun ke jalan dalam aksi besar-besaran. Suasana kota sempat lumpuh. Namun di balik semangat perlawanan itu, terdapat luka yang dalam.
Ratusan mahasiswa diburu dan ditangkap. Hidayat Musa sendiri diintimidasi dan dicari oleh sejumlah aparat keamanan. Tekanan psikologis dan ancaman kriminalisasi menjadi bagian dari risiko yang mereka hadapi.
Namun semua itu tidak menyurutkan langkah. Justru memperkuat legitimasi moral bahwa perjuangan mahasiswa berada di jalur yang benar. LMID di era Hidayat Musa menunjukkan bahwa demokrasi tak bisa dibungkam oleh gas air mata atau intimidasi kekuasaan.
Aksi-aksi ini mempertegas peran LMID sebagai penjaga demokrasi kerakyatan, bukan hanya lewat wacana, tapi lewat tindakan langsung yang menyentuh denyut nadi rakyat kecil.
Dari Pilohayanga hingga Bionga, dari kampus hingga jalanan, LMID Gorontalo mencatat sejarah perlawanan yang membekas dan menginspirasi generasi berikutnya.
Menjaga Api Perlawanan: Suara Ketua LMID Saat Ini
Di bawah kepemimpinan Khalifah Ridho, LMID menegaskan konsistensinya. Ia menyebut organisasi ini akan terus berada di garis perjuangan rakyat kecil, terutama di wilayah agraria, buruh, pendidikan, dan layanan dasar.
“Kami ingin LMID bukan hanya suara kampus, tapi juga suara rakyat di sawah, pabrik, dan jalanan. Kami belajar dari masa lalu dan siap berjuang lebih keras untuk masa depan yang adil,” tegas Khalifah.
Ia menambahkan bahwa target LMID ke depan adalah memperluas basis organisasi di seluruh kabupaten/kota di Gorontalo dan memperkuat pendidikan ideologis kader.
“Kami sedang menyiapkan sekolah ideologi rakyat dan pusat advokasi bantuan hukum bagi petani dan buruh. Ini bukan gerakan seremonial. Ini adalah jalan panjang menuju keadilan sosial sejati.”
LMID juga menyambut peluang sinergi dengan gerakan nasional yang berpihak pada rakyat, seperti program-program sosial pemerintah baru, namun tetap dengan sikap kritis.
Menurut Khalifah, sejarah mengajarkan bahwa demokrasi sejati hanya lahir dari keterlibatan aktif rakyat dalam menentukan nasibnya.
“LMID tidak dibangun untuk ikut arus kekuasaan. Kami dibangun untuk mengguncang kesewenangan,” pungkasnya.
Kini, di usia 26 tahun, LMID tetap tegak berdiri sebagai simbol keberanian mahasiswa yang setia pada rakyat. Sejarah telah mencatat luka dan pengorbanan mereka.
Namun satu hal yang tak pernah hilang: semangat untuk melawan ketidakadilan. Dan perjuangan itu, masih panjang. (*)