Gorontalo

Nyanyi di Kafe Demi Bayar SPP, Mahasiswa di Gorontalo Dihantui Isu Bayar Royalti

×

Nyanyi di Kafe Demi Bayar SPP, Mahasiswa di Gorontalo Dihantui Isu Bayar Royalti

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi, Musisi Lokal Menyanyi di Sebuah Cafe, Gambar: (Realis/Kolase/bicaraa.com)

Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini


BICARAA.COM, GORONTALO – Musik bukan sekadar hiburan di Gorontalo. Bagi sebagian mahasiswa, tampil membawakan lagu di kafe menjadi satu-satunya cara untuk bertahan hidup dan melanjutkan kuliah.

Namun, ruang kreatif ini kini dibayangi persoalan royalti musik yang menambah tekanan, baik bagi pelaku usaha maupun para musisi muda.

“Banyak yang tampil itu masih mahasiswa. Mereka sendiri yang datang ke kami, bawa gitar, nawarin diri buat manggung. Bukan sekadar hobi, tapi buat biaya kos, makan, dan bahkan bayar SPP,” ujar Niko Makarawo, pengelola Kafe Hungrypedia, Jumat (8/8/2025).

Hungrypedia hanya menyelenggarakan live music dua kali seminggu, biasanya malam Kamis dan malam Minggu.

Penampilan musisi diisi oleh grup-grup akustik kecil yang membawakan lagu-lagu populer atau lagu lama secara cover.

Honor yang diberikan pun sangat terbatas. Satu grup biasanya menerima Rp500 ribu hingga Rp750 ribu, yang kemudian dibagi rata.

Artinya, setiap personel hanya menerima sekitar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per malam.

“Kalau yang tampil lima orang, ya paling dapat seratus ribuan. Tapi mereka senang, karena bisa bantu kebutuhan harian. Ini cara bertahan hidup juga,” tambah Niko.

Sayangnya, niat baik ini terancam oleh kewajiban royalti musik yang mulai ramai dibicarakan di kalangan pelaku usaha.

Niko menyebut, kewajiban itu tak relevan jika hanya menampilkan penyanyi lokal tanpa karya ciptaan sendiri.

“Kalau kafe kayak kami harus bayar royalti, bisa-bisa enggak sanggup. Musisinya juga bukan artis nasional. Mereka cuma mahasiswa yang ingin menghibur sambil nyari uang tambahan,” ucapnya.

Salah satu mahasiswa, Arif Nugraha (21), yang rutin tampil sebagai vokalis di beberapa kafe di Gorontalo, mengaku honor dari ngamen akustik sangat membantu untuk membayar kebutuhan kuliah.

“Kadang kita enggak punya pilihan lain. Saya pernah pakai uang manggung buat bayar SPP semester kemarin. Kalau royalti dibebanin ke kafe, nanti enggak ada tempat lagi buat tampil,” ucap Arif, mahasiswa semester lima di salah satu kampus swasta.

Arif menambahkan dirinya dan teman-temannya tidak membawakan lagu ciptaan sendiri, melainkan sekadar menghibur dengan lagu-lagu populer secara akustik.

“Kalau manggung harus ribet urusan izin lagu, lama-lama orang males undang kami lagi. Padahal buat kami ini penting banget,” katanya.

Sebelumnya Isu royalti ini mencuat setelah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Provinsi Gorontalo menyampaikan imbauan kepada pelaku usaha hiburan.

Dalam wawancara dengan bicaraa.com pada Kamis (30/7/2025), Kepala Bidang Kekayaan Intelektual, Mananga, menegaskan setiap tempat usaha yang memutar musik secara terbuka wajib memiliki izin resmi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

“Kalau lagu diputar di kafe, harus ada izin LMKN. Itu bentuk perlindungan hak cipta,” kata Mananga.

Ia juga menambahkan pelanggaran royalti merupakan delik aduan dan baru bisa ditindak jika ada laporan dari pemilik lagu.

Pernyataan tersebut menimbulkan kegelisahan, khususnya di kalangan pemilik kafe kecil dan para mahasiswa yang selama ini bergantung pada panggung musik sebagai ladang rezeki. (*)


Share:   

Baca Berita Kami Lainnya di: 
Image
Image