Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
BICARAA.COM – Istilah makar dan darurat militer kembali ramai dibicarakan dalam wacana politik dan keamanan Indonesia. Keduanya bukan sekadar istilah, melainkan memiliki makna hukum yang serius serta konsekuensi besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Secara hukum, makar didefinisikan sebagai perbuatan yang bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah atau memisahkan sebagian wilayah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Definisi ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya Pasal 104 hingga 108.
Dalam pasal-pasal tersebut ditegaskan bahwa makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden, baik dengan maksud membunuh, merampas kemerdekaan, maupun meniadakan kemampuan menjalankan jabatan, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup.
KUHP juga menyebutkan bahwa makar dengan maksud memisahkan sebagian wilayah Indonesia dari NKRI dapat diganjar pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun. Sementara itu, makar untuk menggulingkan pemerintahan memiliki ancaman hukuman hingga 15 tahun penjara.
Dengan demikian, makar tidak dapat disamakan dengan unjuk rasa, kritik, atau perbedaan pendapat terhadap pemerintah. Tindakan makar harus dilihat sebagai upaya nyata yang bertujuan merongrong kedaulatan negara dan merusak tatanan pemerintahan yang sah.
Sementara itu, darurat militer merupakan status khusus yang dapat ditetapkan negara ketika menghadapi situasi luar biasa, seperti pemberontakan bersenjata atau ancaman serius terhadap keamanan nasional.
Dasar hukum penetapan darurat militer tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam undang-undang tersebut diatur bahwa Presiden memiliki kewenangan untuk menetapkan keadaan darurat, termasuk darurat militer, apabila kondisi tidak lagi dapat diatasi dengan aturan sipil biasa.
Darurat militer juga berakar pada Pasal 12 UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan keadaan bahaya.
Dalam praktiknya, ketika status darurat militer diberlakukan, kewenangan aparat keamanan, khususnya TNI, menjadi lebih luas dibanding dalam situasi normal.
Aparat dapat melakukan tindakan seperti penangkapan, penggeledahan, dan pembatasan aktivitas masyarakat tanpa melalui prosedur hukum acara pidana yang biasa berlaku. Hal ini tentu menimbulkan konsekuensi besar terhadap kehidupan politik, sosial, hingga kebebasan sipil.
Penerapan status makar bagi individu maupun status darurat militer untuk suatu wilayah bukanlah keputusan yang ringan. Kedua istilah ini menyangkut keselamatan negara sekaligus hak-hak dasar masyarakat.
Apabila seseorang terbukti melakukan makar, ancaman hukumannya sangat berat, bahkan hingga pidana mati. Sementara itu, pemberlakuan darurat militer berarti masyarakat akan menghadapi pembatasan aktivitas sehari-hari dan pengawasan ketat dari aparat.
Oleh sebab itu, penggunaan istilah makar dan darurat militer tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Keduanya memiliki prosedur dan dasar hukum yang jelas.
Pemahaman masyarakat mengenai arti makar dan darurat militer menjadi penting agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menanggapi isu-isu politik maupun keamanan yang berkembang.
Contoh penetapan darurat militer di luar negeri seperti di Myanmar, negara memperpanjang darurat militer hingga enam bulan demi menyiapkan pemilu yang disebut bebas, meski ditentang masyarakat internasional karena hak-hak sipil terpangkas dan rakyat tertekan .
Di Korea Selatan, Presiden Yoon Suk Yeol pernah menerapkan darurat militer untuk ‘menyingkirkan elemen anti-negara’, namun akhirnya membatalkannya setelah tekanan parlementer dan publik menyatakan tindakan tersebut melanggar demokrasi. (*)