Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
GORONTALO, BICARAA.COM – Istilah anarkis, anarko, dan anarkisme sering digunakan dalam percakapan publik, terutama ketika merujuk pada aksi demonstrasi yang berujung ricuh. Namun, ketiga istilah tersebut memiliki makna berbeda baik secara historis maupun dalam kajian politik.
Secara umum, kata anarkis merujuk pada tindakan atau perilaku yang cenderung mengabaikan aturan dan menimbulkan kekacauan.
Dalam konteks peristiwa sosial, anarkis kerap dilekatkan pada aksi massa yang melakukan perusakan, bentrokan, atau tindakan di luar kendali hukum. Istilah ini kemudian menjadi populer di pemberitaan media ketika terjadi demonstrasi yang berakhir rusuh.
Sementara itu, istilah anarko lebih banyak digunakan di kalangan populer atau generasi muda sebagai singkatan dari anarkisme atau identitas gerakan.
Di Indonesia, istilah anarko lekat dengan kelompok anak muda yang mengekspresikan diri lewat simbol-simbol grafiti, pakaian serba hitam, serta slogan anti kemapanan. Namun penggunaan istilah ini kerap disalahartikan sebagai identik dengan perusakan atau aksi vandalisme semata.
Berbeda dari dua istilah tersebut, anarkisme adalah sebuah paham atau ideologi politik yang memiliki sejarah panjang. Anarkisme menolak keberadaan otoritas absolut, baik negara maupun lembaga yang dianggap menindas kebebasan individu. Paham ini berangkat dari gagasan kebebasan, kesetaraan, dan kemandirian manusia tanpa dominasi kekuasaan.
Sejarah anarkisme berawal di Eropa pada abad ke-19. Tokoh yang sering disebut sebagai pencetus pemikiran anarkisme modern adalah Mikhail Bakunin, seorang pemikir politik asal Rusia. Bakunin menentang sistem negara otoriter dan menekankan pentingnya kebebasan kolektif.
Selain Bakunin, terdapat juga Pierre-Joseph Proudhon dari Prancis yang dikenal dengan pernyataan “property is theft” (kepemilikan adalah pencurian). Proudhon mengkritik kepemilikan pribadi yang berlebihan dan mendorong masyarakat untuk membangun sistem ekonomi berbasis kerja sama.
Tokoh lain, Peter Kropotkin, juga berperan besar dalam mengembangkan anarkisme melalui gagasan mutual aid atau saling tolong-menolong. Kropotkin berpendapat bahwa kerja sama alami antarmanusia jauh lebih penting daripada persaingan yang dipaksakan oleh kapitalisme.
Pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi dasar berkembangnya berbagai aliran dalam anarkisme, mulai dari anarko-sindikalisme, anarko-komunisme, hingga anarkisme individual.
Di Indonesia, istilah anarkisme kerap mengalami penyempitan makna. Ketika demonstrasi berlangsung ricuh, publik lebih sering menyebutnya sebagai tindakan anarkis. Padahal, dalam tradisi pemikiran politik, anarkisme tidak sekadar merujuk pada kekerasan atau perusakan.
Anarkisme justru menekankan kebebasan dan menolak penindasan dalam bentuk apa pun.
Pengamat sosial di Gorontalo, Arifin Daud Sahjani , menilai bahwa pemahaman masyarakat terhadap istilah ini masih kabur.
“Kita sering menyamakan anarkis dengan anarkisme, padahal keduanya berbeda jauh. Anarkis lebih pada tindakan, sementara anarkisme adalah ideologi yang lahir dari perlawanan terhadap penindasan,” ujarnya.
Meski demikian, dalam praktik di lapangan, simbol dan jargon anarkisme memang sering dipakai oleh kelompok muda yang mengekspresikan ketidakpuasan terhadap pemerintah atau sistem sosial.
Hal ini kemudian melahirkan istilah populer anarko yang dipahami secara bebas.
Dengan demikian, penting untuk membedakan tiga istilah tersebut. Anarkis adalah sifat atau tindakan yang menimbulkan kekacauan, anarko merupakan istilah populer yang identik dengan gaya perlawanan anak muda, sedangkan anarkisme adalah ideologi politik yang memiliki sejarah, tokoh, serta basis pemikiran yang luas. (*)