Catatan Redaksi:
Dukung kami Hadirkan Tulisan Reflektif di Tengah Derasnya Arus Informasi, dengan Klik Tautan Ini
BICARAA.COM– Dalam dunia politik modern, kekuasaan sering kali tampil dengan wajah yang lembut, namun bekerja dengan logika keras.
Di balik senyum kandidat dan janji populis, terselip kalkulasi dingin tentang bagaimana kekuasaan diraih dan dipertahankan.
Situasi ini seolah menghidupkan kembali gagasan klasik Niccolò Machiavelli dalam karyanya The Prince — buku yang selama berabad-abad menjadi simbol realisme politik.
Machiavelli menulis pada abad ke-16, ketika Italia terpecah oleh intrik kekuasaan.
Ia memandang politik bukan sebagai soal moralitas, tetapi tentang seni mempertahankan kekuasaan dalam dunia yang keras dan penuh tipu daya.
Dalam pandangan Machiavelli, seorang pemimpin yang baik bukanlah yang selalu tampak suci, melainkan yang tahu kapan harus menjadi singa dan kapan harus menjadi rubah.
Gagasan itu kini terasa hidup kembali dalam politik Indonesia.
Pemimpin berlomba-lomba membangun citra “merakyat”, menguasai opini publik lewat media sosial, dan memoles narasi moral di tengah praktik pragmatis yang kerap jauh dari nilai ideal.
Di balik panggung demokrasi, muncul elite yang mempraktikkan politik transaksional dan kompromi yang sulit dibedakan dari tipu muslihat Machiavellian.
Namun di sisi lain, realisme Machiavelli juga mengajarkan keberanian menghadapi kenyataan.
Ia tidak menyuruh penguasa menjadi jahat, melainkan realistis, memahami dunia politik sering kali menuntut keputusan sulit, bahkan pahit, demi kestabilan dan keberlangsungan negara.
Dalam konteks Indonesia hari ini, pelajaran ini penting, pemimpin yang baik bukan hanya pandai berbicara tentang kebaikan, tapi juga berani bertindak di tengah tekanan kepentingan yang saling bertabrakan.
Di tengah situasi politik yang kian kompetitif, publik seolah diajak memilih antara moralitas dan efektivitas.
Padahal, seperti kata Machiavelli, dua hal itu bisa hidup berdampingan jika kekuasaan digunakan dengan tujuan yang benar: melindungi rakyat, bukan menguasai mereka.
Sebagaimana dikatakan dalam The Prince, “Lebih aman menjadi ditakuti daripada dicintai — jika tidak bisa keduanya.”
Kalimat itu bukan ajakan untuk menjadi tiran, melainkan peringatan bahwa politik selalu bergerak di wilayah abu-abu.
Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menavigasi ruang itu tanpa kehilangan arah moral.
Catatan Referensi:
Niccolò Machiavelli, The Prince, diterbitkan pertama kali tahun 1532. Edisi modern banyak diterbitkan, di antaranya oleh Penguin Classics (2003).