Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
BICARAA.COM– Penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II, yang lebih dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih, merupakan salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah dunia.
Pada 29 Mei 1453, kota yang telah menjadi pusat Kekaisaran Bizantium selama lebih dari seribu tahun itu akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Utsmaniyah.
Kejadian ini menandai berakhirnya era Romawi Timur dan lahirnya era baru di mana Istanbul menjadi pusat kekuasaan Islam.
Sejak berdirinya Kesultanan Utsmaniyah, berbagai sultan sebelumnya telah mencoba menaklukkan Konstantinopel, tetapi selalu gagal.
Kota ini memiliki posisi strategis yang menghubungkan Asia dan Eropa, serta menjadi pusat perdagangan yang sangat penting. Selain itu, terdapat nubuat dari Rasulullah Muhammad SAW yang mengatakan bahwa kota ini suatu hari akan ditaklukkan oleh seorang pemimpin terbaik dengan pasukan terbaik.
Hadis inilah yang menjadi salah satu motivasi terbesar Muhammad Al-Fatih untuk menaklukkan Konstantinopel.
Muhammad Al-Fatih naik tahta pada usia 19 tahun setelah ayahnya, Sultan Murad II, wafat. Sejak kecil, ia telah dididik oleh ulama-ulama besar dan ahli strategi militer.
Ia menguasai banyak bahasa, termasuk Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Selain pendidikan agama dan intelektual, ia juga mendapatkan pelatihan militer yang ketat, menjadikannya seorang pemimpin yang cerdas dan berani.
Persiapan dan Strategi Penaklukan
Untuk menaklukkan Konstantinopel, Muhammad Al-Fatih menyusun strategi yang matang. Salah satu langkah pertamanya adalah membangun Benteng Rumeli Hisarı di sisi Eropa Selat Bosporus pada tahun 1452.
Benteng ini berfungsi untuk memutus jalur bantuan bagi Konstantinopel dari Laut Hitam, memastikan bahwa kota tersebut benar-benar terisolasi.
Selain strategi geografis, Sultan Muhammad juga mempersiapkan teknologi perang yang lebih maju. Ia merekrut seorang insinyur asal Hungaria bernama Urban, yang kemudian menciptakan meriam raksasa bernama “Basilica”.
Meriam ini memiliki panjang lebih dari 8 meter dan mampu menembakkan peluru batu seberat 500 kg, menjadikannya senjata yang sangat efektif untuk menghancurkan tembok Konstantinopel yang terkenal kuat.
Pasukan Utsmaniyah yang berjumlah lebih dari 100.000 orang terdiri dari berbagai unit, termasuk pasukan elit Janissary yang terkenal disiplin dan tangguh.
Sebaliknya, pasukan Bizantium hanya berjumlah sekitar 10.000 orang, diperkuat dengan beberapa pasukan bantuan dari Genoa dan Venesia.
Kaisar Konstantinus XI berusaha mempertahankan kota dengan segala cara, tetapi keadaan semakin sulit karena blokade Utsmaniyah yang efektif.
Pengepungan Konstantinopel
Pada 6 April 1453, pasukan Utsmaniyah mulai mengepung Konstantinopel. Mereka terus menerus membombardir tembok kota dengan meriam raksasa selama berminggu-minggu.
Namun, tembok pertahanan yang kuat masih mampu bertahan dari serangan awal.
Salah satu strategi brilian yang diterapkan Muhammad Al-Fatih adalah memindahkan armada lautnya melewati daratan.
Pasukan Utsmaniyah mengangkut lebih dari 70 kapal melalui bukit-bukit Galata menggunakan jalur kayu yang dilumasi minyak, sehingga kapal-kapal tersebut bisa bergerak dengan cepat.
Strategi ini mengejutkan Bizantium karena Utsmaniyah berhasil memasuki perairan Golden Horn, yang sebelumnya dianggap aman oleh mereka.
Setelah pengepungan selama lebih dari 50 hari, akhirnya pada 29 Mei 1453, pasukan Utsmaniyah melancarkan serangan besar-besaran.
Melalui Gerbang Kerajaan, pasukan Janissary berhasil menembus pertahanan Bizantium. Kaisar Konstantinus XI tewas dalam pertempuran terakhir, dan pasukan Utsmaniyah berhasil menguasai kota.
Muhammad Al-Fatih memasuki kota dengan penuh kemenangan dan langsung menuju Hagia Sophia, gereja terbesar di Konstantinopel.
Ia mengumumkan bahwa tempat ini akan dijadikan masjid, tetapi tetap memberikan kebebasan kepada umat Kristen untuk menjalankan ibadah mereka.
Kebijakan toleransi inilah yang kemudian membuat banyak penduduk Konstantinopel memilih untuk tetap tinggal di bawah kekuasaan Utsmaniyah.
Dampak Penaklukan Konstantinopel
Penaklukan ini membawa perubahan besar bagi dunia Islam dan Eropa. Konstantinopel, yang kemudian berganti nama menjadi Istanbul, menjadi ibu kota baru Kesultanan Utsmaniyah.
Kota ini berkembang pesat sebagai pusat perdagangan, budaya, dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang ekonomi, jatuhnya Konstantinopel menyebabkan perubahan jalur perdagangan dunia. Sebelumnya, kota ini adalah jalur utama perdagangan antara Asia dan Eropa.
Setelah berada di bawah kendali Utsmaniyah, bangsa Eropa mulai mencari jalur alternatif untuk berdagang dengan Asia.
Hal ini kemudian memicu eksplorasi samudra oleh negara-negara seperti Spanyol dan Portugal, yang pada akhirnya mengarah pada penemuan dunia baru.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Muhammad Al-Fatih mendorong pengembangan pendidikan dan kebudayaan.
Ia membangun sekolah, masjid, perpustakaan, serta mendatangkan para ilmuwan dari berbagai penjuru dunia ke Istanbul. Di bawah kepemimpinannya, kota ini menjadi pusat peradaban Islam yang maju.
Dalam aspek militer, keberhasilan Muhammad Al-Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel membuat Kesultanan Utsmaniyah semakin disegani.
Keberhasilan ini juga menunjukkan bahwa strategi militer modern, seperti penggunaan meriam besar dan mobilisasi pasukan yang efisien, sangat berpengaruh dalam perang.
Muhammad Al-Fatih terus memperluas wilayah Utsmaniyah hingga ke Eropa Timur, termasuk Serbia, Albania, dan Bosnia. Ia dikenal sebagai pemimpin yang adil dan cerdas, serta memiliki visi besar dalam membangun peradaban Islam.
Refrensi
- Freely, John. Muhammad al-Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel. Pustaka Alvabet, 2019.
- Talib, Abdul Latip. Sultan Muhammad Al-Fateh: Penakluk Konstantinopel. PTS Litera Utama, 2008.
- Al-Munyawi, Syaikh Ramzi. Muhammad Al Fatih Penakluk Konstantinopel. Pustaka Al-Kautsar, 2019.
- Nicolle, David. Constantinople 1453: The End of Byzantium. Osprey Publishing, 2000.