Tokoh & SejarahUngkapan

Hari Buruh: Sejarah Panjang Perlawanan dan Janji yang Belum Tuntas

×

Hari Buruh: Sejarah Panjang Perlawanan dan Janji yang Belum Tuntas

Sebarkan artikel ini
Sukarno menyampaikan pidato pada peringatan hari Buruh 1965. Kredit: Bettmann / Corbis

Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini

BICARAA.COM –Hari Buruh Sedunia, yang diperingati setiap 1 Mei, bukan sekadar seremoni. Ia lahir dari perlawanan. Dari tuntutan sederhana: delapan jam kerja sehari.

Tuntutan ini pertama kali digaungkan buruh Amerika Serikat pada 1886 dan memicu tragedi berdarah di Chicago—peristiwa yang kini dikenang sebagai Tragedi Haymarket.

Tiga tahun kemudian, Kongres Buruh Internasional menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia. Dunia mengakuinya. Indonesia ikut. Tapi tidak konsisten.

Awal Perjuangan Buruh di Hindia-Belanda

Di Indonesia, peringatan 1 Mei pertama kali berlangsung di Surabaya pada 1918. Digerakkan serikat buruh Tionghoa, aksi ini masih terbatas karena hambatan bahasa.

Baru pada 1920-an, ketika Sarekat Islam dan Partai Komunis Hindia terlibat, Hari Buruh menjadi panggung tuntutan upah dan jam kerja yang layak.

Tokoh seperti Suryopranoto dan Tjokroaminoto mengorganisir pemogokan, rapat umum, hingga perayaan akbar di kota-kota besar. Bahkan pada 1924, massa buruh di Semarang mengarak gambar Marx dan Tan Malaka.

Tapi masa itu tidak bertahan lama. Setelah pemberontakan 1926-1927, pemerintah kolonial melarang perayaan 1 Mei. Buruh dibungkam.

Kebangkitan Pasca-Kemerdekaan

Setelah merdeka, Hari Buruh kembali diperingati secara terbuka. Menteri Sosial Maria Ulfa bahkan mengeluarkan maklumat: buruh tetap digaji saat memperingati Hari Buruh.

Pada 1948, perayaan akbar digelar di Yogyakarta, dihadiri ratusan ribu buruh dan petani.

Pemerintah mengesahkan UU Ketenagakerjaan progresif: larangan pekerja anak, cuti haid dan melahirkan, tujuh jam kerja, serta hari libur wajib pada 1 Mei.

Momentum ini tidak bertahan lama. Tahun 1965 mengubah segalanya. Rezim Orde Baru di bawah Soeharto menuding Hari Buruh sebagai perayaan komunis.

Semua yang berbau kiri diberangus. Hari Buruh dilarang. Serikat-serikat independen dibubarkan. Pemerintah hanya mengakui SPSI, satu-satunya serikat resmi.

Reformasi dan Pengakuan Kembali

Setelah Orde Baru tumbang, Hari Buruh kembali diperjuangkan. Tahun 1995, PPBI dan SMID nekat menggelar aksi peringatan 1 Mei di Jakarta dan Semarang. Itu langkah awal.

Sejak reformasi, aksi buruh digelar rutin setiap tahun. Tuntutan berganti, tapi substansinya tetap: upah layak, jaminan sosial, penghapusan sistem kontrak dan outsourcing.

Tahun 2013, Presiden SBY menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional. Namun libur ini belum diiringi peningkatan kesejahteraan buruh. Banyak yang masih digaji di bawah kebutuhan hidup, terutama di sektor informal dan pekerja lepas digital.

May Day Hari Ini

Kini, di tengah digitalisasi dan ekonomi fleksibel, tantangan buruh berubah. Pekerja ojol, kurir, dan freelancer digital menghadapi ketidakpastian yang sama: tanpa kontrak jelas, tanpa perlindungan hukum.

Hari Buruh tetap relevan. Tapi bukan sebagai nostalgia. Ini pengingat hak tak pernah diberikan—selalu diperjuangkan.

Buruh masih menunggu janji ditepati: upah layak, kerja aman, dan hidup yang manusiawi. (*)

Share:   

Baca Berita Kami Lainnya di: 
Putih-Biru-Modern-Simpel-Selamat-Hari-Dokter-Nasional-Instagram-Post-3