Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
BICARAA.COM — Jumlah lulusan sarjana yang bekerja di sektor informal seperti asisten rumah tangga (ART), sopir, office boy (OB) hingga petugas keamanan (security) kian meningkat di Indonesia.
Hal ini berbanding lurus dengan naiknya tingkat pengangguran terbuka menjadi 4,76 persen di tahun 2025 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.
Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Gorontalo pada 2025 mencapai 72,01, naik 0,76 poin atau 1,07 persen dibanding tahun sebelumnya.
Angka peningkatan tahunan ini mencerminkan tren positif, namun masih menyisakan tantangan di sektor ketenagakerjaan.
Fenomena ini mencerminkan kenyataan gelar akademik tidak lagi menjamin seseorang mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai bidangnya.
Ketua Ikatan Sarjana Muda Indonesia Gorontalo, Zaenal Manto (39) mengatakan fenomena ini bukanlah hal baru.
Bahkan sejak ia memulai kariernya di sektor profesional tahun 2002, ia sudah menemui lulusan S2 yang bekerja sebagai satpam.
“Ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Saat saya mulai bekerja tahun 2002di perusahaan migas, satpam di tempat saya bekerja saat itu adalah lulusan S2 Sastra Inggris dari UGM,” ujar Zaenal, Sabtu (28/6/2025).
Menurutnya, akar persoalan terletak pada ketimpangan antara jumlah tenaga kerja dengan lapangan pekerjaan yang tersedia.
Banyaknya pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lowongan yang tersedia.
“Masalah utamanya adalah ketimpangan antara supply dan demand. Ijazah masih berguna, tapi lebih sebagai alat penyaring awal,” jelasnya.
Ia mencontohkan kondisi di negara seperti Qatar, di mana permintaan tenaga kerja sangat tinggi sehingga ijazah bukan penentu utama dalam perekrutan.
Ivan juga menyoroti tren terbaru dari perusahaan-perusahaan besar, terutama yang masuk dalam daftar Fortune 500, yang kini tidak lagi menjadikan ijazah sebagai syarat utama.
Mereka lebih mengutamakan kompetensi dan kemampuan.
“Yang penting sekarang adalah kecocokan dan kemampuan bekerja. Banyak perusahaan cukup mengandalkan tes seleksi,” tutupnya. (*)