BICARAA.COM, POLITIK-Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menjadi saksi suatu kejadian menarik, di mana sejumlah dosen, termasuk Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro, menyampaikan kritik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui ‘Petisi Bulaksumur’.
Dalam acara yang berlangsung di Balairung UGM, Sleman, DIY, pada Rabu (31/1/2024), para dosen dan unsur mahasiswa UGM membacakan petisi tersebut, menilai Jokowi telah menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Petisi ini menjadi sorotan karena UGM merupakan almamater Presiden Joko Widodo, sehingga kritik yang disampaikan oleh para dosen dan mahasiswa UGM memiliki bobot tersendiri.
Koentjoro, sebagai perwakilan dosen, menyampaikan isi petisi tersebut di hadapan sejumlah dosen, mahasiswa, dan pihak media yang turut hadir.
Dalam pembacaan petisi, Koentjoro menyebutkan, Jokowi memiliki almamater tersendiri di Universitas Gajah Mada, Sehingga perlu diingatkan ketika telah menyimpang.
“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” tandasnya.
Sejumlah dosen dan mahasiswa UGM turut serta dalam pembacaan petisi ini, menunjukkan bahwa kritik ini bukan semata-mata berasal dari satu kelompok, melainkan mencakup berbagai unsur di lingkungan akademis UGM.
Petisi ini didukung oleh sejumlah guru besar dari berbagai fakultas di UGM, serta mahasiswa yang diwakili oleh Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM, Gielbran M. Noor.
Dalam penjelasan petisi, para pembacanya mengingatkan dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri UGM.
Mereka menyatakan keprihatinan atas dugaan tindakan menyimpang di berbagai lapisan dan tingkat penyelenggara negara.
Kritik ini diarahkan pada aspek moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial yang dianggap terabaikan dalam tindakan pemerintahan yang dinilai salah satu alumnus UGM.
Respons terhadap ‘Petisi Bulaksumur’ pun bermacam-macam. Sebagian menyambut baik inisiatif para dosen dan mahasiswa UGM untuk menyuarakan keprihatinan mereka terhadap kondisi negara.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa mekanisme kritik seharusnya dilakukan melalui jalur-jalur yang lebih terstruktur dan resmi.
Menyikapi hal ini, Koentjoro menjelaskan bahwa pembacaan petisi ini bukan tindakan emosional, melainkan sebuah bentuk kepedulian dan keprihatinan akademisi terhadap kondisi bangsa.
“Kami melakukannya dengan keprihatinan yang mendalam sebagai bagian dari tanggung jawab moral sebagai intelektual dan warga negara,” ujar Koentjoro.
Pembacaan ‘Petisi Bulaksumur’ di UGM memberikan catatan bersejarah, di mana akademisi dan mahasiswa tidak hanya menjadi objek pembelajaran, tetapi juga aktor yang turut serta dalam mengawal nilai-nilai moral dan demokrasi di Indonesia.
Pihak universitas juga diharapkan dapat memberikan ruang dialog untuk mendiskusikan isu-isu penting yang berkaitan dengan kondisi bangsa, sebagai bentuk keterbukaan dan partisipasi aktif dalam pembentukan pemikiran masyarakat. (*)