Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
GORONTALO, BICARAA.COM – Suasana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Gorontalo mendadak berbeda ketika dua narapidana resmi melangkah keluar dari gerbang besi sebagai warga negara yang telah bebas.
Kebebasan ini bukanlah hasil remisi atau bebas murni, melainkan buah dari kebijakan khusus Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang memberikan amnesti kepada sejumlah warga binaan di seluruh Indonesia.
Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2025, yang memuat daftar narapidana penerima amnesti. Amnesty sendiri merupakan instrumen hukum yang jarang digunakan.
Berbeda dengan remisi yang mengurangi masa hukuman atau grasi yang mengubah atau menghapus vonis, amnesti menghapus status pidana seseorang secara penuh—seolah perkara hukum yang menjeratnya tidak pernah ada.
Di Lapas Kelas IIA Gorontalo, empat narapidana masuk dalam daftar penerima amnesti. Namun, hanya dua yang benar-benar bisa merasakan kebebasan. Dua lainnya meninggal dunia sebelum keputusan itu dijalankan.
Berdasarkan data resmi Lapas, narapidana yang meninggal adalah Yunus Ali bin Salim Ali, terjerat perkara perlindungan anak sesuai Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, dengan vonis 6 tahun penjara, dan Ilham Aripin bin Aripin, terjerat perkara serupa dan telah bebas murni sebelum wafat.
Dua penerima amnesti yang akhirnya keluar dari Lapas adalah Sopyan Fahri bin Mohamad Yamin, narapidana kasus narkotika yang dijerat Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan vonis 1 tahun penjara, dan Ibrahim Ngoto bin Ngoto, narapidana kasus penganiayaan sesuai Pasal 351 KUHP dengan vonis 2 tahun penjara.
Kepala Lapas Kelas IIA Gorontalo, Sulistyo Wibowo, menegaskan bahwa pembebasan ini dilaksanakan sesuai prosedur dan telah melalui verifikasi yang ketat.
“Amnesti adalah hak yang diberikan negara kepada narapidana yang memenuhi kriteria, baik dari sisi administrasi, perilaku selama menjalani hukuman, maupun pertimbangan kemanusiaan. Kami memastikan semua proses administrasi dan pengecekan dokumen berjalan sesuai aturan,” ujarnya kepada bicaraa.com, Minggu, (10/08/2025).
Sebelum dibebaskan, kedua narapidana tersebut telah mengikuti program pembinaan hingga hari terakhir mereka berada di dalam Lapas.
“Harapan kami, mereka bisa menjadi pribadi yang lebih baik, tidak kembali melakukan pelanggaran hukum, dan mampu berkontribusi positif di tengah masyarakat. Kebebasan ini adalah peluang kedua yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya,” lanjut Sulistyo.
Ia juga menambahkan bahwa amnesti memberi dampak pada pengurangan jumlah penghuni Lapas yang saat ini masih mengalami over kapasitas. Meski jumlah yang dibebaskan tidak banyak, setiap pengurangan warga binaan memberi ruang yang berarti bagi pelaksanaan program pembinaan.
“Yang lebih penting, pembebasan ini menjadi simbol bahwa negara memberikan kesempatan kedua, sekaligus menunjukkan komitmen rehabilitasi dan reintegrasi sosial,” tambahnya.
Sulistyo menilai amnesti kali ini adalah hasil sinergi antara lembaga pemasyarakatan, pemerintah pusat melalui Kementerian Hukum dan HAM, serta dukungan dari aparat penegak hukum lainnya.
“Keputusan ada di tangan Presiden, tetapi pelaksanaannya memerlukan koordinasi banyak pihak. Ini adalah bentuk kerja sama yang patut dijaga,” tutupnya. (*)