BICARAA.COM-Setiap hari Kamis pukul 16.00 hingga 17.00, sebuah tindakan protes yang dikenal sebagai Aksi Kamisan terus digelar di depan Istana Negara.
Aksi ini merupakan wujud perlawanan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia yang mendesak penuntasan pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah air.
Perintis awal Aksi Kamisan adalah tiga keluarga korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Pertama, Maria Catrina Sumarsih, ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan alias Wawan.
Seorang mahasiswa yang tewas dalam peristiwa Semanggi I.
Kedua, Suciwati, istri dari mendiang pegiat HAM, Munir Said Thalib, yang tewas diracun saat perjalanan dari Jakarta menuju Amsterdam.
Ketiga, Bedjo Untung, keluarga korban pembunuhan, pembantaian, dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap diduga berafiliasi PKI pada 1965–1966.
Tiga keluarga korban itu tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK).
Selain itu Aksi Kamisan juga menuntut kejelasan atas nasib 13 orang.
Salah satunya Widji Thukul yang dinyatakan hilang yang diduga diculik oleh militer saat runtuhnya Orde Baru.
Hingga sampai saat ini, tak ada kejelasan kondisi dari 13 orang tersebut, apakah sudah meninggal atau masih hidup.
Aksi Kamisan bukan hanya sekadar protes, melainkan juga bentuk perlawanan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang tidak pernah tuntas di Indonesia.
Meski menghadapi sejumlah tantangan, termasuk ketidakpedulian pemerintah dan keberanian pelaku pelanggaran HAM.
Aksi Kamisan atau yang dikenal sebagai “Aksi Payung Hitam” terus menjadi upaya gigih dalam memperjuangkan kebenaran, mencari keadilan, dan melawan lupa.