Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
BICARAA.COM — Presiden RI Prabowo Subianto dijadwalkan mengumumkan sepuluh nama penerima gelar Pahlawan Nasional, Senin (10/11/2025), bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan.
Dari sepuluh nama tersebut, Presiden ke-2 RI Soeharto disebut menjadi salah satu yang akan menerima gelar tersebut.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut penetapan itu merupakan hasil seleksi dari 49 nama yang diusulkan ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Dari jumlah itu, 40 nama merupakan usulan baru, sedangkan sembilan lainnya merupakan carry over dari tahun sebelumnya.
“Besok, Insyaallah akan diumumkan kurang lebih 10 nama,” kata Prasetyo di Jakarta, Minggu (9/11).
Ia menjelaskan pemberian gelar kepada Soeharto merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa para pemimpin terdahulu.
“Kita menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin yang sudah pasti memiliki jasa luar biasa bagi bangsa dan negara,” ucapnya.
Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Fadli Zon, menilai Soeharto layak mendapat gelar Pahlawan Nasional karena kiprahnya dalam sejarah militer Indonesia.
Ia menyebut Soeharto turut berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 melawan Belanda serta operasi pembebasan Irian Barat (Trikora) pada 1960-an.
“Beliau memenuhi syarat sebagai pahlawan nasional,” ujar Fadli.
Selain Soeharto, dua tokoh lain yang disebut masuk daftar penerima gelar adalah Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan aktivis buruh Marsinah.
Namun, rencana pemberian gelar kepada Soeharto menuai pro dan kontra. Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyebut keputusan tersebut mengecewakan.
“Langkah ini tidak mengagetkan, tapi mengecewakan,” kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya.
Penolakan juga datang dari Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, yang menilai Soeharto tidak pantas menerima gelar tersebut.
“Saya paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan pahlawan nasional,” ujarnya.
Menurut Gus Mus, banyak kiai dan ulama pesantren yang mengalami tekanan selama masa pemerintahan Orde Baru.
Menanggapi hal itu, Mensesneg Prasetyo menyebut perbedaan pandangan merupakan hal wajar dalam demokrasi.
“Ada yang setuju dan tidak setuju, itu bagian dari aspirasi. Tapi kita harus melihatnya dari sisi positif, bahwa semua melalui prosedur yang berlaku,” tandasnya. (*)












