Ulasan

Tragedi G30S/PKI: Lembaran Kelam Sejarah Bangsa

×

Tragedi G30S/PKI: Lembaran Kelam Sejarah Bangsa

Sebarkan artikel ini
Replika Pembunuhan Salah Satu Jenderal di Tragedi G30SPKI, Foto: (Arsip/RI)

Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini


BICARAA.COM– Tragedi Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI menjadi salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah Indonesia.

Pada malam 30 September hingga 1 Oktober 1965, tujuh perwira TNI Angkatan Darat diculik dan dibunuh.

Peristiwa itu kemudian disebut sebagai upaya kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tujuh perwira yang gugur dikenal dengan sebutan Pahlawan Revolusi, di antaranya Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen MT Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen DI Panjaitan, Brigjen Sutoyo, dan Lettu Pierre Tendean.

Jenazah mereka ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur. Peristiwa ini memicu kemarahan luas, terutama di kalangan militer dan masyarakat.

Pasca peristiwa, gelombang penumpasan terhadap anggota dan simpatisan PKI berlangsung masif di berbagai daerah.

Penelitian menyebutkan, ratusan ribu orang menjadi korban, baik melalui penangkapan, penyiksaan, maupun pembunuhan.

Robert Cribb dalam The Indonesian Killings 1965–1966 (1990) memperkirakan korban jiwa mencapai 500 ribu orang, meskipun angka pastinya masih menjadi perdebatan hingga kini.

Tragedi G30S/PKI tidak hanya menjadi persoalan politik, tetapi juga meninggalkan trauma sosial yang panjang.

Banyak keluarga korban yang mengalami stigma sebagai “keturunan PKI”, sehingga sulit mendapatkan akses pendidikan maupun pekerjaan.

Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Pelurusan Sejarah Indonesia (2004) menekankan bahwa tragedi ini adalah “tragedi kemanusiaan terbesar di Asia Tenggara abad ke-20” setelah perang Vietnam.

Selain itu, tragedi ini menjadi titik balik kekuasaan di Indonesia. Presiden Soekarno yang sebelumnya kuat, kehilangan dukungan politik setelah peristiwa tersebut.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) kemudian mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang memberi kewenangan besar kepada Soeharto, hingga akhirnya mengantarkan Orde Baru berkuasa selama lebih dari 30 tahun.

Hingga kini, perdebatan mengenai siapa aktor utama di balik G30S masih terus berlangsung.

Beberapa penelitian, seperti karya John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2006), menilai keterlibatan PKI cukup jelas, tetapi juga ada faktor persaingan internal militer dan dinamika politik global era Perang Dingin.

Tragedi G30S/PKI adalah pengingat penting bahwa kekuasaan, ideologi, dan politik dapat berujung pada kekerasan massal bila tidak dikelola dengan demokratis.

Momentum peringatan setiap 30 September hendaknya bukan hanya seremoni, melainkan refleksi untuk memastikan tragedi kemanusiaan semacam itu tidak terulang kembali. (*)


Refrensi:

  • Robert Cribb (ed.), The Indonesian Killings 1965–1966 (1990).

  • Asvi Warman Adam, Pelurusan Sejarah Indonesia (2004).

  • John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal (2006).

Share:   

Baca Berita Kami Lainnya di: 
Image