Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
Oleh: Fikri Papempang/HMI Cabang Pohuwato
POHUWATO, BICARAA.COM– Aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) di Kabupaten Pohuwato terus memicu kerusakan lingkungan. Sungai-sungai dipenuhi sedimentasi, hutan dibuka secara liar, dan tanah kehilangan kesuburannya.
Lebih parah lagi, masyarakat harus menanggung risiko pencemaran air dengan kandungan logam berat yang mengancam kesehatan dalam jangka panjang.
Di tengah kerusakan itu, muncul fenomena yang ironis. Para pelaku tambang ilegal justru hadir sebagai “penolong” dengan berbagai kontribusi sosial.
Mereka membagikan sembako, menyumbang pembangunan masjid, menjadi sponsor kegiatan daerah, hingga terlibat langsung dalam pengerukan sedimentasi sungai dengan alat berat. Sekilas, tindakan ini terlihat sebagai solusi. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, upaya tersebut hanyalah “kosmetik kepalsuan” untuk menutupi kerusakan yang mereka timbulkan.
Para penggiat lingkungan menilai, langkah-langkah yang dilakukan oleh penambang ilegal itu bukanlah solusi, melainkan rekayasa sosial. Tujuannya sederhana: membentuk citra baik agar masyarakat percaya bahwa mereka peduli pada lingkungan dan kesejahteraan warga.
Padahal, kebaikan yang ditampilkan jauh dari sebanding dengan kerugian ekologis, sosial, maupun kesehatan yang ditanggung generasi mendatang.
Konflik kepentingan menjadi akar dari suburnya tambang ilegal di Pohuwato. Dalam banyak kasus, aktivitas yang jelas-jelas melanggar hukum ini justru berlangsung terbuka karena adanya keterlibatan oknum aparat, politisi, atau pengusaha lokal.
Hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan malah sering “ditekuk” demi kepentingan elite. Situasi ini melahirkan apa yang disebut sebagai “solusi palsu” – ketika pelanggaran dibungkus dengan kebaikan semu, sementara kerusakan lingkungan terus dibiarkan.
Salah satu bentuk nyata “solusi palsu” itu adalah pengerukan sedimentasi sungai dengan alat berat oleh pihak-pihak yang diduga terkait dengan PETI. Alih-alih menyelesaikan masalah, pengerukan tersebut hanyalah cara untuk menutupi jejak kerusakan.
Aktivis lingkungan menilai, kegiatan ini tidak lebih dari rekayasa sosial. “Itu bukan solusi. Yang dibutuhkan adalah penindakan tegas terhadap aktor di balik tambang ilegal, bukan sekadar kerja lapangan yang biasanya hanya menyasar masyarakat kecil,” tegas salah satu aktivis.
Kritik juga diarahkan kepada aparat penegak hukum. Di Pohuwato, penegakan hukum terhadap PETI dinilai tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Alat berat yang digunakan para penambang jarang disita, sementara masyarakat kecil kerap dijadikan target razia.
Aktivis menyebut aparat, khususnya kepolisian, bukan hanya terkesan “buta” tetapi “mati suri” dalam menghadapi persoalan ini.
Solusi yang ditawarkan jelas: penegakan hukum harus konsisten, razia tidak boleh hanya sesaat, dan sanksi harus menyasar pemodal maupun operator lapangan. Penyitaan alat berat menjadi langkah penting untuk memberi efek jera.
Selain itu, masyarakat serta mahasiswa perlu dilibatkan dalam pengawasan. Dengan begitu, ruang gerak penambang ilegal semakin sempit.
Namun, perjuangan menyuarakan keadilan lingkungan tidak selalu berjalan mulus. Ironisnya, masyarakat dan mahasiswa yang mengkritisi tambang ilegal sering kali justru dibungkam.
Mereka yang mati-matian mempertahankan lingkungan kerap dicap sebagai penghambat pembangunan. Padahal, perjuangan tersebut merupakan bagian dari hak dasar warga negara: hak atas tanah, air, udara bersih, dan masa depan yang layak.
Jika praktik tambang ilegal terus dibiarkan dengan alasan kontribusi sosial para pelakunya, maka kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya pada ekologi. Dampak lebih jauh adalah runtuhnya moral dan keadilan sosial.
Generasi mendatang akan mewarisi tanah gersang, sungai tercemar, serta hukum yang kehilangan wibawanya.
Sudah saatnya publik sadar bahwa tidak semua yang mengaku sebagai penyelamat benar-benar menyelamatkan. Banyak di antaranya justru merusak secara sistematis lalu menutupinya dengan dalih kebaikan.
Solusi palsu tidak boleh lagi menjadi tameng. Penegakan hukum yang tegas, transparan, dan berpihak pada kelestarian lingkungan adalah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Pohuwato dari kerusakan permanen. (*)