Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
GORONTALO, BICARAA.COM — Di bawah terik matahari yang membakar trotoar Kota Gorontalo, seorang pria tua berdiri dengan mata tertutup rapat.
Topi putih lusuh menutupi rambut yang telah memutih. Di dadanya tergantung sebuah mikrofon tua dari plastik bekas, disangga tali dan kardus yang dililit isolasi bening.
Tangannya memetik gitar kusam yang senarnya tak lagi lengkap, tapi masih bisa melahirkan nada.
Ia adalah Abu Bakar Al Idrus (65), warga Kelurahan Limba B, Kecamatan Kota Timur, Kota Gorontalo.
Sudah 10 tahun terakhir ia mengamen, mengandalkan suara dan semangat untuk menyambung hidup.
Sejak mengidap malaria pada 1992, Abu kehilangan penglihatannya dan menjadi tunanetra.
Setiap pagi, anaknya Iwan Al Idrus (35) mengantarnya dengan bentor ke lokasi ramai di kota.
Di sana, Abu mengamen dengan lagu-lagu lama, berharap ada yang tergerak hati memberi uang recehan. Penghasilan tertinggi dalam sehari hanya Rp20 ribu.
“Kadang cuma lima ribu, kadang tidak dapat sama sekali,” ucap Abu lirih.
Istrinya, Eti Suelangung (58), tak bekerja. Dulu pernah menjadi asisten rumah tangga, tapi kini hanya bisa membantu dari rumah.
Mereka tinggal bersama anak bungsu, Fei Alidrus (22), dan dua cucu kecil. Rumah mereka sempit dan berlantai semen, jauh dari kata layak.
Gitar usang yang ia mainkan telah menemaninya selama bertahun-tahun.
Mikrofon rakitan dari botol plastik, kardus, dan lakban itu bukan sekadar alat bantu, melainkan simbol perjuangan.
Tak ada teknologi, tak ada fasilitas, hanya niat kuat agar dapur tetap mengepul.
“Saya tidak minta kaya, cukup bisa makan hari ini saja,” kata Abu dengan suara bergetar.
Selama ini belum ada bantuan tetap dari pemerintah. Abu hanya berharap suatu hari ada yang datang, bukan hanya mendengarkan nyanyiannya, tapi juga mendengar keluh hidupnya.
Di tengah riuhnya lalu lintas kota, suara Abu seperti tenggelam. Tapi bagi keluarganya, itu adalah satu-satunya suara yang menyalakan harapan. (*)