Nikmati Update Berita Terbaru dari Bicaraa.com Setiap Hari Melalui Saluran Whatsapp, Bisa Klik Disini
GORONTALO, BICARAA.COM– Kasus korupsi proyek pembangunan Jalan Nani Wartabone kembali mencuat ke publik meskipun dua tersangka, AA dan FL, telah ditetapkan pada 11 Juni 2024.
Menariknya, hari ini, Senin (22/01/2024), mantan Wali Kota Gorontalo Marten Taha diperiksa sebagai saksi dalam sidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Kasus ini mencuat setelah Direktur PT Mahardika, Deny Juaeni, menyebutkan nama Marten Taha dalam sidang sebelumnya.
Dalam kesaksiannya, Deny mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan Marten Taha dalam praktik korupsi terkait proyek pembangunan jalan Nani Wartabone yang diduga sarat penyimpangan.
Awal Mula Korupsi Mencuat
Berdasarkan hasil pemilihan yang dilakukan oleh Pokja Pengadaan Barang dan Jasa Setda Kota Gorontalo, terdapat tiga penyedia yang terlibat, yakni PT Cahaya Mitra Nusantara sebagai pemenang, PT Rizki Aflah Jaya Abadi sebagai cadangan pertama, dan PT Mahardika Permata Mandiri sebagai cadangan kedua.
Namun, hasil pemilihan tersebut mendapat penolakan dari tersangka AA, yang menjabat sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Dinas PUPR Kota Gorontalo.
Tersangka AA meminta evaluasi ulang meskipun hasil pemilihan telah sesuai dengan dokumen yang ada.
Pokja Setda Kota Gorontalo menanggapi penolakan tersebut dengan menegaskan tindakan AA bertentangan dengan dokumen pemilihan yang sah, yang sudah memenuhi prosedur dan tidak didukung oleh klarifikasi yang memadai.
Meski demikian, AA tetap mengeluarkan Surat Penunjukan Penyedia Barang dan Jasa kepada PT Mahardika Permata Mandiri meskipun perusahaan ini hanya di posisi cadangan kedua, yang kemudian menjadi dasar untuk proses penyelewengan anggaran.
Pemberian Fee Yang Merugikan Negara
Kasus ini semakin terungkap dengan adanya dugaan pemberian fee sebesar 17 persen dari nilai kontrak yang harus dibayarkan sebelum penandatanganan kontrak.
Fee tersebut, yang diduga merupakan imbalan untuk memuluskan proses pengadaan, disalurkan melalui rekening milik Baharudin Pulukadang alias ALO dan diterima oleh tersangka FL senilai Rp 1,67 miliar.
Deny Juaeni, Direktur PT Mahardika Permata Mandiri, juga terlibat dalam proses ini dengan memberikan komitmen sejumlah Rp 2,37 miliar yang kemudian dibagikan kepada AA dan FL.
Hasil penyelidikan menunjukkan kedua tersangka bekerja sama untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui praktik yang melanggar aturan pengadaan barang dan jasa.
Menyeret Dua Tersangka
Kasus ini telah menyeret dua tersangka, AA dan FL, yang kini dijerat dengan Pasal 12 huruf e Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keduanya menghadapi ancaman hukuman penjara antara 1 hingga 20 tahun dengan nomor perkara tersangka nomor Print-340/P.5/Fd.1/06/2024 tanggal 11 Juni 2024. (*)